Search Box

Jumat, 14 Oktober 2011

ANALISIS KARYA SASTRA DAN PENERAPAN NILAI

Dalam pembicaraan dan analisis serta penerapan nilai karya sastra ini, kita mengambil contoh-contoh sajak, berdasar pada kenyataan bahwa puisi unsur-unsurnya lebih lengkap dan padat daripada prosa, seperti bunyi, irama, pembagian irama, pemilihan kata-kata, kombinasi kata, bahasa kiasan, dan gaya bahasa. Seperti dikemukakan Subagio Sastrowardojo dalam prasarannya di Semarang:
“Puisi adalah inti pernyataan sastra. Demikianlah menurut sejarah dan hakekatnya. Menurut sejarahnya, pernyataan sastra pada semua bangsa dimulai dengan puisi, bahkan pada permulaan masa perkembangan itu, satu-satunya pernyataan sastra yang dipandang kesusastraan ialah puisi.
Juga di zaman modern, setelah bentuk prosa mendapat pengakuan sebagai kemungkinan pernyataan yang lain, puisi tetap menempati kedudukan yang sentral dalam kesusastraan memokokkan perhatiannya puisi. Saya kira keadaan ini disebabkan oleh hakikat puisi itu sendiri.
Menurut hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi. Di dalam puisi terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Di dalam puisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra, yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai oleh prosa.”
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut. Artinya, kritik sastra yang sederhana sekalipun hendaknya sampai pada penilaian yang argumentative tentang baik buruknya karya sastra tertentu. Penilaian karya sastra merupakan tujuan kritikus yang harus bekerja dengan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu. Dalam pelaksanaannya terbilang rumit karena masalah tersebut bukan hanya bersifat teoretis, melainkan sekaligus terapan. Artinya kritikus harus memahami sejumlah teori sastra, kemudian dapat memilih secara tepat suatu teori yang akan diterapkan dalam karya sastra tertentu, dan pada akhirnya harus dapat menjelaskan hasil analisisnya kepada masyarakat.
Menurut Rene Wellek puisi (karya sastra adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman, bukan jumlah pengalaman. Pengalaman seseorang itu pada waktu membaca puisi, hanyalah pelaksanaan sebagian kemungkinan yang dapat ditangkap dari puisi yang sedang dibacanya. Jadi, sebenanrnya ialah struktur norma-norma yang hanya sebagian saja dilaksanakan menjadi pengalaman-pegalaman masing-masing pembaca. Setiap pengalaman pembaca, misalnya membaca, deklamasi, dan sebagainya, adalah hanya usaha menangkap rangkaian norma-norma sastra itu. Karya sastra tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa lapis (strata) norma. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk (1931) dengan metode phenomenologi Edmond Husserl, menganalisis norma-norma itu:
1. Lapis suara (sound statum) dasar timbulnya.
2. Lapis arti (units of meaning)
Masing-masing kata tergabung menjadi kesatuan di dalam konteks, syntagma, pola kalimat. Dari stuktur sintaksis ini timbul.
3. Lapis objek yang dikemukakan “dunia pengarang”, pelaku, tempat (setting).
Roman Indgarden menambahkan dua strata lagi yang sesungguhnya menurut Rene Wellek dapat dimasukkan atau tak usah dipisahkan dengan lapis ketiga (lapis dunia pengarang).
4. Lapis “dunia yang dilihat dari suatu titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung didalamnya (implied),
5. Stratum metafisika, lapis ini memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan sifat mulia, tragis, mengerikan, dan suci. Lapis ini tak selalu terdapat dalam karya sastra.

Setelah karya sastra itu dinilai berdasarkan norma-normanya, barulah dapat disimpulkan bahwa suatu karya sastra bernilai seni, kurang bernilai, atau tidak bernilai.
Dalam menilai karya sastra haruslah dilihat hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat bahwa karya sastra penjilmaan jiwa sastrawan ke dalam suatu karya sastra dengan medium bahasa. Sehingga dalam menilai karya sastra haruslah dilihat berhasil atau tidaknya sastrawan menjilmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Namun, jika pengalaman jiwa itu dapat dijilmakan ke dalam kata, karya sastra itu tak mempunyai nilai tinggi jika pengalaman jiwanya itu hanya sederhana, sedikit, atau tidak lengkap, dan tidak meliputi keutuhan jiwa.
Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia itu terdiri dari lima tingkatan , begitu juga pengalaman jiwa terdiri dari lima tingkatan atau niveaux.
Tingkatan pertama: niveau anorganis, yaitu tingkatan jiwa yang terendah, yang sifatnya seperti benda mati, mempunyai ukuran, tinggi, rendah, panjang, dalam, dapat diraba, didengar, pendeknya dapat diindera. Bila tingkatan ini terjilma dalam karya sastra, berupa pola bunyi, irama, baris sajak, alinea, kalimat, perumpamaan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Tingkatan kedua: nivea vegetatif, yaitu tingkatan seperti tumbuh-tumbuhan, seperti pohon mengeluarkan bunga, mengeluarkan daunnya yang muda, gugur daunn dan sebagainya. Segala pergantian itu menimbulkan bermacam-macam suasan. Misalnya bila musim bunga suasana yang dimbulkan adalah romantis, menyenangkan, menggembirakan. Bila musim gugur menimbulkan suasana tertekan, menyedihkan, dan keputusasaan.
Tingkatan yang ketiga: niveau animal, yaitu tingkatan seperti yang dicapai binatang, yaitu sudah ada nafsu-nafsu jasmaniah. Dalam kata atau karya sastra maka tingkatan ini berupa hasrat untuk makan, minum, nafsu seksual, nafsu untuk membunuh dan sebagainya.
Tingkatan yang keempat: niveau human, yaitu tingkatan jiwa yang hanya dapat dicapai oleh manusia, berupa perasaan belas kasihan, dapat membedakan baik buruk, berjiwa gotong royong, saling membantu dan sebagainya.
Tingkatan yang kelima: niveau religius atau filosofis, ini adalah tingkatan kejiwaan yang tertinggi, tingkatan ini dialami hanya saat sembahyang, dzikir, berdoa, dan sebagainya. Bila dalam bentuk kata tingkatan ini berupa renungan-renungan batin sampai pada hakikat, hubungan manusia dengan Tuhan, seperti doa-doa, pengalaman mistik, renungan-renungan filsafat.
Suatu karya sastra yang banyak memancarkan tingkatan pengalaman jiwa dan merupakan keutuhan akan tinggi nilainya, ditambah lagi bila pengalaman itu makin lengkap, karya sastra jadi semakin hidup, besar dan agung, jadi kian tinggi mutunya.

Berikut ini merupakan contoh beberapa karya sastra beserta analisis-analisisnya.

Di bawah ini dikutip dari Dalam Sajak, hlm. 8.

SENJA DI DESA

Senja di desa desa
Antara kampung-kampung
Daun matahari dijunjung
Gadis-gadis remaja:
Periuk bundar-bundar
tanah liat terbakar
tempaan tukang tua
matahari senja

Antara sumber air
dan gerbang perkampungan
terlena jalan pasir
pulang dari pancuran ...
gadis-gadis remaja:
Bulan di kepalanya.

Sejak ini merupakan lukisan senja di desa ketika para gadis ke sumber mengambil air dengan periuk bundar, matahari di atas kepalanya dan ketika pulang bulan sudah kelihatan di atas kepalanya.
Dalam sajak ini penyair berhasil melukiskan suasana desa yang idillis (sederhana) tenang. Suasana yang tentram ini dapat menentramkan hati. Kepuitisan sajak ini terletak dalam kepadatannya, ia hanya melukiskan yang paling penting dari apa yang dilihatnya sehingga dapat memberikan suasana yang dimaksud dan memberikan kejelasan tanggapan. Objek-objek yang terpenting pada lukisan senja ini sebagai berikut: senja di desa-desa, matahari yang sudah rendah, gadis-gadis remaja, perluk bundar, sumber air, jalan pasir, bulan dan pancuran. Di samping objek-objek itu, tidak ada objek-objek dan benda-benda lain, namun tidak penting hingga tidak perlu disebutkan karena akan menghilangkan apa yang dimasudkan serta merusak suasana.
Meskipun demikian, saja ini hanya sampai lukisan saja, penyair tidak melihat persoalan-persoalan , konflik-konflik yang terdapat dalam senja di desa. Jadi, ia tidak menampilkan pengalaman jiwa yang lebih lengkap daripada hanya lukisan ketentraman itu. Dengan demikian, sajak ini hanya sampai pengalaman jiwa tingkatan vegetatif, baru sampai membangkitkan suasana ketenraman, ketenangan senja di desa. Ini tidak berarti tidak berguna bagi kita karena penyair berhasil melukiskan ketentraman senja di desa itu, pembaca merasa terharu dan merasakan kesejukan dan ketentraman dalam hati.

Sebuah contoh sajak yang hanya sampai pengalaman jiwa niveau animal, tetapi lebih halus karena dengan gaya ucapan yang tak langsung dan dengan kiasan-kiasan. Sajak W.S Rendra berikut:
SERENDA MERAH PADAM
Sekawan kucing
Berpasang-pasangan
Mengeong di kegelapan.
Sekawan kucing
mengeong dengan bising
Mengeong dengan panas
Di kegelapan.
Manisku! Manisku!
Sekawanan kucing
Berpasang-pasangan
Saling menggosokkan tubuhnya
Di kegelapan.
Seekor kucing jantan
Menyapukan kumisnya dengan keras
kelabu perut betinanya.
Maka yang betina berguling-guling
tak terang pandangan matanya.
Serta dari mulutnya
keluar suara panjang
kerna telah dilemahkan
seluruh urat badannya.
Manisku! Manisku!
Dengarlah bunyi kucing
mengganas di kegelapan.
Seekor kucing jantan
menggeram dengan dalam
di leher betinanya.
Maka
selagi sang betina kecapaian
ia pun menyeringai
di kegelapan.

Untuk mengungkapkan pengalaman jiwanya yang sedang mengalami pengalaman percintaan yang romantis itu, penyair mengungkapkan pengalamannya dengan lambang kucing jantan dan kucing betina yang sedang bercumbu-cumbuan. Dengan sajaknya ini penyair akan berkata bahwa percintaan antara laki-laki dengan perempuan itu adalah hakikat segala mahluk hidup. Akan tetapi, dengan sajaknya itu penyait tidak dapat sampai pada renungan yang lebih tinggi dari pengalaman jiwa niveau animal. Sifat animal ini bukan karena ia menggunakan kiasan kucing, melainkan lukisan yang merangsang naluri seksual itulah yang merangsang, yang memberi sifat animal, bahkan dengan lambang ini, lukisan menjadi halus. Bila peristiwa cumbu-cumbuan itu secara langsung oleh penyair dilukiskan dengan lukisan manusia, maka akan menjadi lebih cabul, bersifat pornografis lagi.
Berikutnya merupakan analisis ke unsur-unsur, lapis-lapis norma yang lebih mengkhusus. Dalam tingkat pengalaman jiwa selain melukiskan pengalaman jiwa penyairnya, dapat juga berisi pengalaman jiwa yang lain. Suatu sajak yang bernilai, yang memancarkan keutuhan pengalaman jiwa penyair, kalau dianalsis hingga satu katanya pun atau kombinasi dua kata dapat dapat memancarkan beberapa pengalaman jiwa. Misalnya kata “kekasihku” dalam sajak Amir Hamzah “Hanya Satu”, bait terakhir.
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa kau dekat rapat
Serupa rusa di puncak tursina

Kata “kekasihku” ini dapat memancarkan pengalaman jiwa tingkat anorganis, yaitu bunyinya merdu dalam kombinasi: Aduh kekasihku. Dan bunyi h itu dapat memperkuat suasana sedih dan sunyi. Jadi, ini pengalaman jiwa tingkat vegetatif. Juga arti kekasih itu menunjukkan perhubungan antara pria dan wanita, maka dapat menimbulkan rangsangan erotis, jadi, ini adalah pengalaman tingkat animal. Akan tetapi, kekasihku itu juga berhubungan dengan cinta yang tidak hanya menimbulkan nafsu seksual saja, yaitu bersifat human. Jadi, kata ini memancarkan pengalaman tingkat keempat. Akhirnya juga memancarkan pengalaman jiwa tingkat kelima, niveau religius karena kata “kekasihku” itu oleh Amir Hamzah dipergunakan untuk memanggil Tuhan, merupakan pengalaman peremuan antara manusia dengan Tuhan, hakikat tertinggi.
Suatu karya sastra yang baik dapat memancarkan pengalaman jiwa yang banyak.. tidak saja pengalaman jiwa tingkat-tingkat tinggi, melainkan juga tingkat-tingkat yang lebih rendah. Pengalaman jiwa tingkat rendah gunanya merangsang sehingga menimbulkan kejelasan. Di samping itu, kata-kata itu dapat mendramatisir suatu peristiwa ke depan mata kita supaya perhatian kita tertarik hingga kita turut mengalami pengalaman pengalaman jiwa penyair. Sebab itu, untuk ini dalam batas-batas tertentu, untuk menimbulkan kesegaran, penyair mengombinasikan lukisan pengalaman jiwa yang abstrak dengan konkret, mislanya Sitor Situmorang dalam sajak “Berita Perjalanan”.
Kujelajah bumi dan alis kekasih
Kuketok dinding segala kota
Semuanya menyisih.
Kujelajahi bumi, ungkapan ini kata biasa masih kurang menimbulkan rangsangan, dikombinasi dengan kata “alis kekasih” maka ungkapan ini menjadi hidup karena tenaga erotis dalam kata “alis kekasih” itu merangsang darah dan perasaan kita. Kemudian dalam sajak “Fargment” Chairil Anwar berkata:
Berceritalah cintaku/bukakan tubuhmu di atas sofa ini
Mengapa kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
Dari kecemasan sampai ke istirahat dalam kecemasan.

Maksud “bukalah tubuhmu” itu supaya kekasihnya menceritakan segala ihwalnya dengan terus terang, seluruh pengalamannya. Maka dengan kata yang merangsang itu apa yang dimaksud penyair menjadi menonjol ke depan.
Dalam sajak “Moksha” A. Rossidhy berkata:
seribu mata tertuju padaku
hingga ke gelap pekat benci menuding
seolah aku telanjang di depan mereka.

Dengan ungkapan: seolah aku telanjang di depan mereka, penyair mengungkapkan rasa malunya yang hebat dan merasa berdosa terhadap seribu mata yang menuding, yang dimaksudkan mata orang-orang yang sengsara hidupnya, menagih janji kepada pemimpin.





sources:

Djoko Pradopo, Rachmat. 1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
K. S, Yudiono. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia.

2 komentar: