Search Box

Rabu, 22 Juni 2011

Teori Kontrastif dalam Pemerolehan Bahasa

A. Hakikat Teori Konstrastif
Dalam belajar bahasa, sering kali seseorang melakukan kesalahan dalam mengungkapkan sebuah kalimat akibat pengaruh konstruksi kalimat bahasa pertamanya, dan kebalikannya pada keadaan tertentu ia dimudahkan cara belajarnya oleh bahasa pertamanya. Menurut hipotesis kontrastif, yang dikemukaan oleh Charles Fries (1945) dan Robert Lado (1957), kesalahan yang dibuat tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan antara bahasa pertama dan bahasa kedua, sedangkan kemudahan dalam belajarnya disebabkan oleh adanya kesamaan-kesamaan antara unsur B1 dan B2. Dengan kata lain, perbedaan B1dengan B2 menyebabkan kesulitan, sedangkan persamaan menyebabkan kemudahan. Dari teori ini, kita mendapat keterangan bahwa pemerolehan bahasa, apakah itu pemerolehan bahasa kedua, ataupun bahasa ketiga, sedikit banyak keberhasilannya ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai oleh pembelajar sebelumnya. Teori ini berhipotesis bahwa keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai oleh pembelajar berpengaruh terhadap proses pemerolehan bahasa yang dipelajari atau yang berusaha dikuasainya (Klein, 1986:5).
Hipotesis analisis kontrastif lebih lanjut menyatakan bahwa seorang pembelajar bahasa sering kali melakukan transfer antara B1 dengan B2 dalam bentuk penggunaan struktur B1 untuk mengungkapkan gagasan dalam B2. Atas dasar pemikiran tersebut maka para ahli bahasa berusaha mendeskripsikan bahasa-bahasa di dunia, dengan harapan para pengajar atau praktisi akan dapat memprediksi letak kesulitan dan kemudahaan anak dalam belajar nanti, sesuai dengan latar belakang B1-nya. Namun, analisis kontrastif tidak menjelaskan proses belajar bahasa dan kemungkinan untuk menghapuskan kesalahan yang mungkin dibuat oleh anak.
Hasil penelitian membuktikan bahwa transfer dapat diamati pada tingkat-tingkat kebahasaan, baik fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Sedangkan pada aspek morfologi jarang ditemui. Untuk mengetahui kekhilafan yang terjadi dalam transfer, pembelajar harus tahu banyak tentang bahasa kedua. Berdasarkan sifatnya, maka transfer dapat dibagi menjadi dua bagian. Transfer yang bersifat membantu karena kesamaan atau kesejajaran disebut transfer positif. Sebaliknya apabila transfer itu bersifat mengacaukan karena perbedaan sistem bahasa maka transfer itu disebut transfer negatif.

B. Prinsip-prinsip Teori Konstrastif
Dari teori kontrastif ini, kita mendapat keterangan bahwa pemerolehan bahasa, apakah itu pemerolehan bahasa kedua, ataupun bahasa ketiga sedikit banyak keberhasilannya ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai oleh pembelajar sebelumnya. Teori ini berhipotesis bahwa keadaan linguistis bahasa yang telah dikuasai oleh pembelajar berpengaruh terhadap proses pemerolehan bahsa yang dipelajari atau yang berusahaa dikuasainya (Klein, 1986:5)
Berbahasa kedua atau berbahasa ketiga adalah proses transferisasi. Jika struktur bahasa yang dikuasai oleh pembelajar sebelumnya, misalnya, banyak memiliki persamaan dengan struktur bahasa yang berusaha diperolehnya, terjadilah semacam pemudahan dalam proses transferisasinya. Namun demikian, jika struktur antarkeduanya memiliki persamaan dengan struktur antarkeduanya memiliki perbaedaan, pembelajar akan mengalami kesulitan di dalam memeroleh bahasa yang sedang dipelajarinya. Semakin terdapat perbedaan struktur antara yang ada dalam bahasa pertama dengan yang ada dalam bahsa kedua, usaha yang harus dilakukan pembelajar di dalam memeroleh dan menguasai bahasa kedua haruslah lebih sungguh-sungguh.
Menurut analisis kontrastif, semakin besar perbedaan keadaan linguistik bahasa yang dikuasai oleh pembelajar sebelumnya dengan keadaan linguistik bahasa yang akan dipelajarinya, semakin besar pula kesulitaan yang akan dialami oleh pembelajar dalam memeroleh bahasa sasaran (Banathy, 1969:79). Dengan analisis kontranstif, pengajar maupun pembelajar bahasa kedua dapat mengetahui tingkat persamaan dan perbedaan linguistik bahasa pertama dengan bahasa kedua atau bahasa target dengan bahasa yang dipelajarinya (Ellis, 1986:20). Melalui analisis kontrastif, tingkat persamaan dan perbedaan antara bahasa pertama dan bahasa kedua dapat diketahui. Dengan diketahuinya tingkat persamaan serta perbedaan itu dapat ditentukan strategi pembelajaran yang paling efektif untuk digunakan (Dulay, 1982:96).

source :

Kamis, 16 Juni 2011

TEORI MENTALISME / NATIVISME

Berbeda dengan kaum behaviorisme, kaum nativis atau mentalis berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa pertama, sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan.
Pada hakikatnya aliran nativisme menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak. Oleh karena itu, faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetik dari orang tua. Istilah Nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat.
Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri. Prinsipnya, teori Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya ahli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia serta kemampuan lain yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misal, seorang anak yang berasal dari keluarga seniman musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi orang tuanya atau mungkin juga hanya setengah dari kemampuan kedua orang tuanya.
Dalam teori ini dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir atau bakat. Teori ini dipelopori oleh filosiof Jerman, Arthur Schopenhauer yang beranggapan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh alam sekitar atau pendidikan.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan anak dalam teori Nativisme:
1. Faktor Genetik.
Faktor genetik adalah faktor gen dari kedua orang tua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul dari diri manusia.
2. Faktor Kemampuan Anak.
Faktor kemampuan anak adalah faktor yang menjadikan seorang anak mengetahui potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.
3. Faktor Pertumbuhan Anak
Faktor pertumbuhan anak adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu normal maka dia akan bersikap enerjik, aktif, dan responsif terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal, maka anak tersebut tidak bisa mengenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.
Chomsky (1959) menyerang sangat tajam teori behaviorisme yang ditokohi Skinner. Menurut Chomsky, tingkah laku manusia jauh lebih rumit daripada tingkah laku binatang, tikus. Dengan kerumitannya itulah sehingga mustahil pemerian stimulus eksternal dan respons mampu menentukan tingkah laku bahasa. Bagi Chomsky, yang mampu memikul tanggung jawab tingkah laku bahasa hanyalah kemampuan bawaan (inner comprephrension). Spekulasi Skinner itu bersifat premature dalam arti berlaku pada tahap paling awal sebelum seseorang atau anak memeroleh pengertian yang lebih baik dari sistem linguistik yang dipelajarinya (Hamid dalam Tolla, 1990:15).
Chomsky dengan keras menentang teori pembiasaan operan dalam pemerolehan bahasa yang dikemukakan Skinner. Menurutnya, tidak ada gunanya sama sekali untuk menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa mengetahui sebenarnya bahasa sebagai benda yang sedang diperoleh itu. Untuk dapat menerangkan hakikat proses pemerolehan bahasa, di samping memahami apa sebenarnya bahasa itu, kita tidak boleh menyampingkan pengetahuan mengenai struktur-dalam organisme, yakni bagaimana cara – cara organisme memproses masukan informasi dan bagaimana cara – cara perilaku berbahasa itu diatur.
Untuk lebih memperkuat teorinya atau hipotesisnya Chomsky mengajukan hal – hal berikut.
1. Proses – proses pemerolehan bahasa pada semua anak – anak boleh dikatakan sama.
2. Proses pemerolehan bahasa tidak ada kaitannya dengan kecerdasan. Maksudnya, anak yang IQ-nya rendah juga memeroleh bahasa pada waktu dan cara yang hampir sama.
3. Proses pemerolehan bahasa juga tidak dipengaruhi oleh motivasi dan emosi anak – anak.
4. Tata bahasa yang dihasilkan oleh semua anak – anak boleh dikatakan sama.
Salah seorang penganut teori mentalisme adalah Lennenberg (1967). Ia berpendapat bahwa bahasa merupakan species-specific dengan cara tertentu dalam perilaku bahasa yang ditentukan secara biologis. Bahasa adalah mekanisme yang bersifat bawaan yang disebut alat pemerolehan bahasa (LAD) dan yang memungkinkan seorang anak memformulasikan sistem bahasa yang bersifat abstrak. Mekanisme bahasa yang bersifat bawaan bekerja sesuai urutan dan aturan berikut;
Apabila anak disuruh menggunakan bahasa, mekanisme ini berpacu dan memformulasikan hipotesis struktur bahasa yang memungkinkan terjadinya kontak. Hipotesis secara tetap diperiksa kembali oleh mekanisme tersebut melalui penggunaan bahasa (Said dalam Tolla, 1990). Tingkatan ini tercapai apabila anak sudah dapat menggunakan satu atau dua kata dalam tuturannya. Proses ini berjalan terus dan mengalami banyak kesalahan, tetapi kesalahan tersebut diperiksa kembali sampai anak menguasai tata bahasa secara tepat.
Rangkaian selanjutnya adalah lingkungan memberikan sumbangan yang terus-menerus dalam proses perkembangan mental dan kepribadian. Faktor bawaan diperkaya dan dikembangkan oleh faktor lingkungan dalam bentuk pengalaman, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Chomsky (1978) dalam Ide Said (1987) mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan penganut faktor bawaan dan penganut faktor lingkungan. Sebagian ahli psikologi menekankan faktor lingkungan dan sebagian lagi menekankan faktor bawaan. Faktor – faktor keturunan yang berhubungan dengan faktor lingkungan ini dalam perkembangan selanjutnya banyak dipertanyakan oleh para ahli.
Manusia mempunyai bakat untuk terus – menerus mengevaluasi sistem bahasanya dan terus menerus merevisi untuk pada akhirnya menuju bentuk yang berterima di masyarakat/lingkungannya.

Rabu, 08 Juni 2011

Implikasi Teori Behaviorisme bagi Pengajaran Bahasa

Behaviorisme adalah sebuah teori pembelajaran dengan rumus sebagai berikut: Stimulus è Respon è Perubahan tingkah laku è Penguatan. Teori ini lebih mementingkan respon yang dihasilkan. Input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon yang menghasilkan perubahan tingkah laku adalah bagian yang terpenting. Karena bagian ini yang akan diamati dan dibuktikan secara empiris. Sedangkan proses pembelajaran tidak dianggap penting sama sekali. Selain dari faktor stimulus (input) dan respon (output), faktor lain yang juga dianggap penting adalah penguatan (reinforcement). Teori ini dipelopori oleh Pavlov, Watson, Hull, Guthrie dan Skinner. Setiap dari pelopor – pelopor ini memberikan kontribusi yang kuat bagi perkembangan teori ini dari awal perkebangannya hingga sekarang.
Salah satu usaha yang sangat gigih untuk membangun teori behaviorisme itu dalam hubungannya dengan pembelajaran dan pemerolehan bahasa pertama dilakukan oleh B.F. Skinner yang sekarang dikenal dengan teori verbal (verbal behavior). Skinner mengadakan eksperimen-eksperimen dengan anak-anak kecil untuk mengetahui reaksi atau respons mereka dalam asosiasi kata, pengelompokan bunyi, dan sebagainya. Hasil eksperimen-eksperimen ini dilaporkan oleh Skinner kepada para peserta Seminar di Universitas Harvard dalam buku yang berjudul Verbal Behavior (op.cit).
Persoalan inti dari analisis Skinner ialah bahwa bunyi-bunyi ujar (Speech Sound) diucapkan dan diperkuat sama seperti perilaku nonverbal lainnya. perilaku berhasa manusia dibentuk oleh penguatan yang lazim dipakai dalam masyarakat kita.Urutan:Rangsangan→Jawaban→Penguatan(stimulus→Response→Reinforcement) disebut dalam psikologi Behaviorisme operant conditioning atau “pembiasaan yang membuahkan hasil”. Menurut Skinner, hadiah jauh lebih efektif daripada hukuman dalam situasi pengajaran kebiasaan. Skinner berkesimpulan bahwa tugas para pelajar bahasa pertama harus diatur sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai peluang banyak untuk memberi respons yang benar.
1. Implikasi Dalam Behaviorisme Melalui Kasus Pembelajaran
Dalam behaviorisme, seorang guru selaku pengajar dan pengawas jalannya pembelajaran memiliki kemiripan dengan seorang peneliti yang akan meneliti objek penelitiannya. Dimana seorang peneliti akan mengambil jarak atau distansi penuh dengan objeknya, bersikap netralitas, memanipulasi, merumuskan hukum – hukum, bebas kepentingan, universal dan instrumental terhadap objeknya. Dalam hal ini guru juga berlaku hal yang sama terhadap siswa – siswi didiknya. Penulis mengambil contoh kasus dalam pembelajaran musik yang menggunakan pendekatan teori behaviorisme.
Ketika seorang guru ingin mengajarkan bagaimana mengajarkan tanggan nada kepada muridnya, ia akan mengamati terlebih dahulu bagaimana keadaan fisik jari murid – muridnya dan kemampuan dasar yang dimiliki oleh tiap murid dengan sikap berjarak. Guru akan berfikir ia sebagai subjek dan murid – murid adalah sebagai objek. fakta netral harus dimiliki oleh sang guru dalam menghadapi muridnya. Sebuah pemikiran yang bersih dari unsur- unsur subjektifnya. Ditahap ini materi – materi pembelajaran akan diberikan sebagai bentuk stimulus dari guru terhadap muridnya. Guru akan menjelaskan dan mencotohkan tentang bagaimana musik rangkaian sebab – akibat dalam pengajaran akan didapatkan sebagai hasil. Rangkaian sebab (pemberian stimulus) – akibat ini akan menghasilkan sebuah respon dari murid dimana respon ini akan membentuk sebuah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pembelajaran. teori – teori tersebut akan dipraktekkan secara instrumental dan universal di kelas – kelas selanjutnya.
Kasus singkat diatas adalah contoh dari sebuah pengajaran di kelas dengan penerapan teori behaviorisme. Guru memberikan sebuah stimulus berupa materi – materi pengajaran dan mengharapkan akan mendapatkan sebuah respon yang berupa perubahan tingkah laku dari murid – muridnya. Perubahan tingkah laku dalam bentuk dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mempraktekkan pelajaran yang diberikan berubah menjadi mampu untuk mempraktekkannya. Guru tidak melihat bagaimana proses murid – murid mencerna materi pengajaran, guru hanya melihat bagaimana hasil akhir yang diperoleh. Reinforcement positive atau negative yang akan diberikan tergantung dari bagaimana perubahan tingkah laku yang dihasilkan.
2. Aplikasi teori behaviouristik terhadap pembelajaran siswa
Guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan npembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan
3. Kekurangan dan kelebihan
Metode ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure kecepatan spontanitas kelenturan daya tahan dsb. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan peran orang tua. Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.