Search Box

Sabtu, 15 Oktober 2011

Laporan Buku (Fiksi): Prahara Cinta

NOVEL I

1. Judul : Prahara Cinta

2. Pengarang : Abu Umar Basyier

3. Tebal : 342 halaman

4. Terbit : Malang: Shafa Publika, 2010.

5. Unsur intrinsik

Tema : Religi
Alur/plot : Alur maju
Latar/setting
Tempat : Rumah bibi, rumah bibi tiri, sekolah, kantor polisi, kampus, masjid, rumah Hamidi, rumah Namirah, rumah Zakiah, warteg, kantin kampus, took buku.
Waktu : pagi hari, siang hari, malam hari, dini hari.
Suasana : sepi, menegangkan, ramai.
Sudut Pandang : Orang pertama pelaku utama.
Penokohan :
Hamidi : seorang anak yang awalnya nakal, buta akan ilmu dan nilai-nilai agama,
kemudian saat dewasa berubah menjadi sosok yang taat beribadah, santun, rajin dan baik.
Namirah : Pintar, disiplin, cuek dan ketika bernjak dewasa ia menjadi wanita yang
salehah tapi juga keras kepala.
Zakiah : Gadis lugu dan penyabar serta salehah.
Paman Hamidi : Pekerja keras, bertanggungjawab.
Bibi Hamidi : cerewet
Bibi tiri Hamida : manja
Marno : baik, pintar, rajin.
Andi : teman Hamidi semasa remaja hingga dewasa. Pada usia remaja ia
sama halnya dengan Hamidi yang nakal dan tidak mengerti persoalan agama, tapi menginjak dewasa ia pun menjadi sosok yang saleh.
Jamilush : baik, ramah, saleh.
Konflik cerita :
Konflik cerita pada novel ini yaitu ketika Hamidi dihadapkan pada tiga pilihan tersulit dalam hidupnya yaitu menceraikan istri pertamanya Zakiah kemudian menikahi Namirah yang selama ini dicintainya ataukah berpoligami yang baginya adalah sebuah tanggungjawab yang sangat berat. Selain itu, konflik juga timbul saat Hamidi dan Namirah saling beradu pendapat (berselisih) dan akhirnya mereka memutuskan untuk bercerai.
Amanat
Novel ini mengamanatkan kepada umat muslim untuk lebih mendekatkan diri kepada sang Pencipta dan terus berusaha mencapai cita-cita. Selain itu, manusia juga dihimbau apabila mencintai seseorang, maka cintailah dengan sekadarnya saja, begitupula jika membenci seseorang, maka bencilah ia dengan sekadarnya saja.

6. Sinopsis
Novel ini menceritakan kehidupan seorang anak bernama Hamidi. Hamidi merupakan anak yatim piatu yang diasih oleh paman dan bibinya. Mereka tinggal disebuah perkampungan dimana kelakuan warga kampung tersebut dinilai Hamidi jauh dari nilai-nilai agama. Paman Hamidi bekerja sebagai tukang becak, sedang ia harus menghidupi keluarganya (Istri, Hamidi dan kedua kakak laki-laki Hamidi). Diantara kedua kakak-kakaknya, Cuma Hamidi yang melanjutkan sekolah. namun karena alasan ekonomi keluarga, paman Hamidi hanya akan membiayai sekolah Hamidi hingga SMP saja.
Di SD, Hamidi termasuk murid yang cukup berprestasi walaupun prestasinya sempat menurun karena pasca kematian ayahnya. Saat memasuki SMP, Hamidi bertemu dengan anak perempuan yang juga teman sekelasnya bernanam Namirah. Sejak pertemuan awalnya dengan Namirah, Hamidi selalu memperhatikan tingkah gadis yang duduk bersebelahan dengannya itu. Setahu Hamidi, Namirah adalah sosok gadis yang cerdas, ceria walaupun agak cuek terhadapnya. Rupanya Hamidi menaruh hati pada Namirah meski belum ia sadari sepenuhnya. Di sekolah baru itu juga, Hamidi mendapat teman baru yang sekaligus menjadi sahabat karibnya, namanya Marno. Suatu hari berkat masukan dari Marno, Hamidi memutuskan untuk bekerja paruh waktu sebagai tukang loper Koran. Dengan profesi barunya itu, ia bisa menambah uang jajannya bahkan cukup untuk membiayai uang SPP nya sendiri.
Setelah lulus SMP, Hamidi rupanya melanjutkan sekolahnya ke jenjang SMU. Disekolah barunya ia tak lagi bisa bertemu dengan Marno dan Namirah karena mereka melanjutkan pendidikan di sekolah yang berbeda-beda. Hamidi merasa sangat kehilangan sosok Namirah, meskipun semasa SMP ia tak begitu akrab dengan Namirah. Hamidi kembali bertemu dengan teman-teman baru, mereka adalah Cecep, Andi dan Rais. Semasa SMU, Hamidi rupanya telah terjerumus ke dalam pergaulan buruk teman-temannya. Suatu hari, Hamidi, Cecep dan Andi tertangkap polisi karena melakukan aksi pencurian di salah satu pusat perbelanjaan. Akibat perbuatan mereka, mereka bertiga harus menekam di balik jeruji selama tiga bulan. Tapi Cecep yang merupakan keponakan dari seorang polisi dapat dibebaskan dengan mudah oleh pihak kepolisian setempat. Tinggal Hamidi, dan Andi yang harus menyelesaikan masa tahanan mereka selama tiga bulan lamanya.
Di dalam penjara, Hamidi dan Andi telah menyesali perbuatan mereka. Mereka juga telah merenungkan kelakuan mereka selama ini yang tak pernah beres di sekolah maupun di luar sekolah. Di dalam penjara itu pula, Hamidi dan Andi berteman dengan Irwan yang juga merupakan tahanan sama seperti mereka. Selain Irwan, Hamidi dan Andi juga menjalin keakraban dengan Jamilush –saudara kembar Irwan- yang sering menengok Irwan. Jamilush adalah sosok yang saleh, ia banyak memberi masukan dan petuah-petuah agama pada Hamidi dan Andi. Sejak saat itu, Hamidi dan Andi pun bertekad untuk mendalami ajaran agama dan mengubah perilaku buruknya. Selepas dari penjara, Hamidi dan Andi melanjutkan pendidikan SMU nya walaupun harus di sekolah yang berbeda karena mereka dikeluarkan dari sekolah lamanya akibat perbuatan mereka yang dianggap sangat memalukkan nama baik sekolah. Sementara menyelesaikan studinya di tingkat SMU, Hamidi dan Andi juga sering ikut dalam pembelajaran-pembelajaran agama di luar sekolah, guna mendalami ilmu agama.
Selepas SMU, Hamidi dan Andi berhasil lulus di perguruan tinggi yang sama. Semasa kuliah, Hamidi dan Andi kerap mengikuti kegiatan keagamaan di kampus maupun di luar kampus. Suatu ketika Hamidi bertemu kembali dengan Namirah, sesosok wanita yang bertahun-tahun tidak pernah lagi ditemuinya dan sengat dirindukan oleh Hamidi. Bukan Cuma saat itu juga, Hamidi dan Namirah sebelumnya pernah bertemu di saat masih SMU. Penampilan Namirah telah berubah. Ia mengenakan jilbab. Suatu hal yang sangat Hamidi harapkan belakangan ini yaitu melihat Namirah mengenakan jilbab. Perasaan Hamidi kembali meluap-luap. Kali ini ia sadar betul, bahwa apa yang ia rasakan terhadap Namirah adalah perasaan cinta, meskipun beberapa kali ia meyakinkan hatinya bahwa perasaan yang tengah menguasai hatinya itu tak sepantasnya ada pada yang bukan muhrimnya karena bisa berakibat zina hati. Karea pertimbangan itulah, Hamidi yang pada saat itu baru menginjak semester empat memberanikan diri untuk melamar Namirah. Tapi sayang, orang tua Namirah tidak bisa menerima Hamidi dengan alasan Hamidi belumlah dirasa cukup dalal ilmua agamanya. Hamidi sakit hati menerima kenyataan itu. Suatu hari ia disarankan menikah dengan seorang gadis salehah bernama Zakiah. Hamidi pun langsung melamar Zakiah. Zakiah perempuan yang baik, dan terpelajar. Walaupun di dalam hati Hamidi masih ada Namirah, tapi ia bisa menerima Zakiah. Demi menikah, Zakiah memutuskan tidak melanjutkan kuliahnya. Tak beberapa lama setelah Hamidi dan Zakiah menikah, Namirah pun juga menikah dengan seorang dosen. Hamidi lagi-lagi merasa patah hati. Sejak hari pernikahan Namirah, Hamidi terlihat sering bengong dan melamun. Zakiah menyadari akan hal itu. Zakiah yang mulai merasa resah dengan kebbiasaan Hamidi itu pun mempertanyakannya pada suaminya. Namun, Hamidi malah berubah menjadi sosok yang sensitive, mudah marah pada Zakiah. Zakiah yang selalu bisa sabar menghadapi Hamidi, lama-kelamaan kehilangan kesabarannya juga. Hal tersebut memicu terjadinya perselisihan di antara Hamidi dan Zakiah. Hubungan rumah tangga mereka menjadi tak harmonis lagi apalagi ketika Hamidi mendengar kabar bahwa Namirah telah bercerai dengan suaminya yang baru selama enam bulan menikah. Suatu hari, Namirah menyatakan perasaannya pada Hamidi yang juga memendam perasaan yang sama dengan Hamidi. Ia lalu meminta Hamidi menjadikannya istri kedua, dengan izin Zakiah tentunya. Hamidi sangat bingung dalam mengambil keputusan. Di satu sisi, ia memang sudah lama menginginkan bisa hidup bersama Namirah-cinta pertamanya- disisi lain, ia tak mau kalau harus berpoligami karena merasa tak mampu berlaku adil pada kedua istrinya kelak. Dengan berat hati, Hamidi memutuskan untuk menceraikan Zakiah. Zakiah merasa sangat kecewa, padahal ia sudah bersedia dipoligami.
Sebulan setelah perceraiannya dengan Zakiah, Hamidi dan Namirah pun menikah. Mereka sangat bahagia terutama Hamidi yang memang sudah jatuh hati pada Namirah sejak SMP. Hari-hari mereka lalui dengan penuh kebahagiaan. Walaupun telah menikah, Namirah tetap melanjutkan kuliahnya, berbeda dengan Zakiah dulu. Namirah tak mau melepaskan pendidikannya. Wajarlah jika ia berpendirian demikian, Namirah memang sangat cerdas dan selalu ingin belajar. Hamidi dan Namirah disibukkan dengan kegiatan mereka masing-masing, terutama Namirah. Hal tersebut lama-kelamaan membuat Hamidi kerap kesal, karena kesibukan istrinya itu, pekerjaan rumah diterlantarkan. Hamidi pun menegur Namirah, namun Namirah berdalih bahwa ia sibuk kuliah. Hamidi berusaha untuk mengerti kondisi Namirah, ia sesekali mengerjakan pekerjaan rumah tangga yang semestinya dilakukan oleh Namirah. tapi, lama-kelamaan Namirah tak berubah, ia tak bergeming dari kesibukannya. Hamidi semakin kesal, ia kemudian menegur kembali Namirah, kali ini lebih tegas. Rupanya Namirah tak mau kalah dengan suaminya. Ia menimpali kritikan-kritikan suaminya tentang tugas istri yang semestinya dilakukan oleh Namirah sesuai dengan ajaran Islam. Namirah tetap berkeras, ia tak mau hanya menjadi istri yang bekerja di rumah saja. Hamidi tak tahu harus bagaimana menghadapi sikap istrinya yang tak pernah disangka sebelumnya seperti ini. Semakin lama hubungan mereka semakin memburuk, hingga suatu hari Namirah meminta Hamidi menceraikannya. Merekapun akhirnya bercerai.
Setelah bercerai dengan Namirah, barulah Hamidi menyesal telah menceraikan Zakiah yang menurutnya masih lebih baik menjadi istrinya dibandingkan Namirah. Suatu hari setelah beberapa bulan perceraiannya dengan Namirah, Hamidi menemui Zakiah untuk memintanya kembali menjadi istrinya. Namun, rupanya Zakiah masih sakit hati atas keputusan Hamidi tempo hari untuk menceraikannya demi Namirah. Ia menolak ajakan Hamidi. Hamidi merasa sangat menyesal.

Jumat, 14 Oktober 2011

ANALISIS KARYA SASTRA DAN PENERAPAN NILAI

Dalam pembicaraan dan analisis serta penerapan nilai karya sastra ini, kita mengambil contoh-contoh sajak, berdasar pada kenyataan bahwa puisi unsur-unsurnya lebih lengkap dan padat daripada prosa, seperti bunyi, irama, pembagian irama, pemilihan kata-kata, kombinasi kata, bahasa kiasan, dan gaya bahasa. Seperti dikemukakan Subagio Sastrowardojo dalam prasarannya di Semarang:
“Puisi adalah inti pernyataan sastra. Demikianlah menurut sejarah dan hakekatnya. Menurut sejarahnya, pernyataan sastra pada semua bangsa dimulai dengan puisi, bahkan pada permulaan masa perkembangan itu, satu-satunya pernyataan sastra yang dipandang kesusastraan ialah puisi.
Juga di zaman modern, setelah bentuk prosa mendapat pengakuan sebagai kemungkinan pernyataan yang lain, puisi tetap menempati kedudukan yang sentral dalam kesusastraan memokokkan perhatiannya puisi. Saya kira keadaan ini disebabkan oleh hakikat puisi itu sendiri.
Menurut hakikatnya, ciri-ciri khas kesusastraan berpusat pada puisi. Di dalam puisi terhimpun dan mengental segala unsur yang menentukan hakikat kesusastraan. Di dalam puisi ada konsentrasi unsur pembentuk sastra, yang tidak dapat sepenuhnya dapat dicapai oleh prosa.”
Sesuai dengan pengertian atau hakikat kritik sastra jelaslah bahwa penilaian sastra merupakan masalah yang melekat pada pengertian tersebut. Artinya, kritik sastra yang sederhana sekalipun hendaknya sampai pada penilaian yang argumentative tentang baik buruknya karya sastra tertentu. Penilaian karya sastra merupakan tujuan kritikus yang harus bekerja dengan kaidah-kaidah atau norma-norma tertentu. Dalam pelaksanaannya terbilang rumit karena masalah tersebut bukan hanya bersifat teoretis, melainkan sekaligus terapan. Artinya kritikus harus memahami sejumlah teori sastra, kemudian dapat memilih secara tepat suatu teori yang akan diterapkan dalam karya sastra tertentu, dan pada akhirnya harus dapat menjelaskan hasil analisisnya kepada masyarakat.
Menurut Rene Wellek puisi (karya sastra adalah sebab yang memungkinkan timbulnya pengalaman, bukan jumlah pengalaman. Pengalaman seseorang itu pada waktu membaca puisi, hanyalah pelaksanaan sebagian kemungkinan yang dapat ditangkap dari puisi yang sedang dibacanya. Jadi, sebenanrnya ialah struktur norma-norma yang hanya sebagian saja dilaksanakan menjadi pengalaman-pegalaman masing-masing pembaca. Setiap pengalaman pembaca, misalnya membaca, deklamasi, dan sebagainya, adalah hanya usaha menangkap rangkaian norma-norma sastra itu. Karya sastra tak hanya merupakan satu sistem norma, melainkan terdiri dari beberapa lapis (strata) norma. Rene Wellek mengemukakan analisis Roman Ingarden, seorang filsuf Polandia, di dalam bukunya Das Literarische Kunstwerk (1931) dengan metode phenomenologi Edmond Husserl, menganalisis norma-norma itu:
1. Lapis suara (sound statum) dasar timbulnya.
2. Lapis arti (units of meaning)
Masing-masing kata tergabung menjadi kesatuan di dalam konteks, syntagma, pola kalimat. Dari stuktur sintaksis ini timbul.
3. Lapis objek yang dikemukakan “dunia pengarang”, pelaku, tempat (setting).
Roman Indgarden menambahkan dua strata lagi yang sesungguhnya menurut Rene Wellek dapat dimasukkan atau tak usah dipisahkan dengan lapis ketiga (lapis dunia pengarang).
4. Lapis “dunia yang dilihat dari suatu titik pandang tertentu yang tak perlu dinyatakan, tetapi terkandung didalamnya (implied),
5. Stratum metafisika, lapis ini memberikan kesempatan kepada kita untuk memikirkan sifat mulia, tragis, mengerikan, dan suci. Lapis ini tak selalu terdapat dalam karya sastra.

Setelah karya sastra itu dinilai berdasarkan norma-normanya, barulah dapat disimpulkan bahwa suatu karya sastra bernilai seni, kurang bernilai, atau tidak bernilai.
Dalam menilai karya sastra haruslah dilihat hubungan antara sastrawan dengan karya sastranya, mengingat bahwa karya sastra penjilmaan jiwa sastrawan ke dalam suatu karya sastra dengan medium bahasa. Sehingga dalam menilai karya sastra haruslah dilihat berhasil atau tidaknya sastrawan menjilmakan pengalaman jiwanya ke dalam kata. Namun, jika pengalaman jiwa itu dapat dijilmakan ke dalam kata, karya sastra itu tak mempunyai nilai tinggi jika pengalaman jiwanya itu hanya sederhana, sedikit, atau tidak lengkap, dan tidak meliputi keutuhan jiwa.
Menurut analisis ilmu jiwa modern, jiwa manusia itu terdiri dari lima tingkatan , begitu juga pengalaman jiwa terdiri dari lima tingkatan atau niveaux.
Tingkatan pertama: niveau anorganis, yaitu tingkatan jiwa yang terendah, yang sifatnya seperti benda mati, mempunyai ukuran, tinggi, rendah, panjang, dalam, dapat diraba, didengar, pendeknya dapat diindera. Bila tingkatan ini terjilma dalam karya sastra, berupa pola bunyi, irama, baris sajak, alinea, kalimat, perumpamaan, gaya bahasa, dan sebagainya.
Tingkatan kedua: nivea vegetatif, yaitu tingkatan seperti tumbuh-tumbuhan, seperti pohon mengeluarkan bunga, mengeluarkan daunnya yang muda, gugur daunn dan sebagainya. Segala pergantian itu menimbulkan bermacam-macam suasan. Misalnya bila musim bunga suasana yang dimbulkan adalah romantis, menyenangkan, menggembirakan. Bila musim gugur menimbulkan suasana tertekan, menyedihkan, dan keputusasaan.
Tingkatan yang ketiga: niveau animal, yaitu tingkatan seperti yang dicapai binatang, yaitu sudah ada nafsu-nafsu jasmaniah. Dalam kata atau karya sastra maka tingkatan ini berupa hasrat untuk makan, minum, nafsu seksual, nafsu untuk membunuh dan sebagainya.
Tingkatan yang keempat: niveau human, yaitu tingkatan jiwa yang hanya dapat dicapai oleh manusia, berupa perasaan belas kasihan, dapat membedakan baik buruk, berjiwa gotong royong, saling membantu dan sebagainya.
Tingkatan yang kelima: niveau religius atau filosofis, ini adalah tingkatan kejiwaan yang tertinggi, tingkatan ini dialami hanya saat sembahyang, dzikir, berdoa, dan sebagainya. Bila dalam bentuk kata tingkatan ini berupa renungan-renungan batin sampai pada hakikat, hubungan manusia dengan Tuhan, seperti doa-doa, pengalaman mistik, renungan-renungan filsafat.
Suatu karya sastra yang banyak memancarkan tingkatan pengalaman jiwa dan merupakan keutuhan akan tinggi nilainya, ditambah lagi bila pengalaman itu makin lengkap, karya sastra jadi semakin hidup, besar dan agung, jadi kian tinggi mutunya.

Berikut ini merupakan contoh beberapa karya sastra beserta analisis-analisisnya.

Di bawah ini dikutip dari Dalam Sajak, hlm. 8.

SENJA DI DESA

Senja di desa desa
Antara kampung-kampung
Daun matahari dijunjung
Gadis-gadis remaja:
Periuk bundar-bundar
tanah liat terbakar
tempaan tukang tua
matahari senja

Antara sumber air
dan gerbang perkampungan
terlena jalan pasir
pulang dari pancuran ...
gadis-gadis remaja:
Bulan di kepalanya.

Sejak ini merupakan lukisan senja di desa ketika para gadis ke sumber mengambil air dengan periuk bundar, matahari di atas kepalanya dan ketika pulang bulan sudah kelihatan di atas kepalanya.
Dalam sajak ini penyair berhasil melukiskan suasana desa yang idillis (sederhana) tenang. Suasana yang tentram ini dapat menentramkan hati. Kepuitisan sajak ini terletak dalam kepadatannya, ia hanya melukiskan yang paling penting dari apa yang dilihatnya sehingga dapat memberikan suasana yang dimaksud dan memberikan kejelasan tanggapan. Objek-objek yang terpenting pada lukisan senja ini sebagai berikut: senja di desa-desa, matahari yang sudah rendah, gadis-gadis remaja, perluk bundar, sumber air, jalan pasir, bulan dan pancuran. Di samping objek-objek itu, tidak ada objek-objek dan benda-benda lain, namun tidak penting hingga tidak perlu disebutkan karena akan menghilangkan apa yang dimasudkan serta merusak suasana.
Meskipun demikian, saja ini hanya sampai lukisan saja, penyair tidak melihat persoalan-persoalan , konflik-konflik yang terdapat dalam senja di desa. Jadi, ia tidak menampilkan pengalaman jiwa yang lebih lengkap daripada hanya lukisan ketentraman itu. Dengan demikian, sajak ini hanya sampai pengalaman jiwa tingkatan vegetatif, baru sampai membangkitkan suasana ketenraman, ketenangan senja di desa. Ini tidak berarti tidak berguna bagi kita karena penyair berhasil melukiskan ketentraman senja di desa itu, pembaca merasa terharu dan merasakan kesejukan dan ketentraman dalam hati.

Sebuah contoh sajak yang hanya sampai pengalaman jiwa niveau animal, tetapi lebih halus karena dengan gaya ucapan yang tak langsung dan dengan kiasan-kiasan. Sajak W.S Rendra berikut:
SERENDA MERAH PADAM
Sekawan kucing
Berpasang-pasangan
Mengeong di kegelapan.
Sekawan kucing
mengeong dengan bising
Mengeong dengan panas
Di kegelapan.
Manisku! Manisku!
Sekawanan kucing
Berpasang-pasangan
Saling menggosokkan tubuhnya
Di kegelapan.
Seekor kucing jantan
Menyapukan kumisnya dengan keras
kelabu perut betinanya.
Maka yang betina berguling-guling
tak terang pandangan matanya.
Serta dari mulutnya
keluar suara panjang
kerna telah dilemahkan
seluruh urat badannya.
Manisku! Manisku!
Dengarlah bunyi kucing
mengganas di kegelapan.
Seekor kucing jantan
menggeram dengan dalam
di leher betinanya.
Maka
selagi sang betina kecapaian
ia pun menyeringai
di kegelapan.

Untuk mengungkapkan pengalaman jiwanya yang sedang mengalami pengalaman percintaan yang romantis itu, penyair mengungkapkan pengalamannya dengan lambang kucing jantan dan kucing betina yang sedang bercumbu-cumbuan. Dengan sajaknya ini penyair akan berkata bahwa percintaan antara laki-laki dengan perempuan itu adalah hakikat segala mahluk hidup. Akan tetapi, dengan sajaknya itu penyait tidak dapat sampai pada renungan yang lebih tinggi dari pengalaman jiwa niveau animal. Sifat animal ini bukan karena ia menggunakan kiasan kucing, melainkan lukisan yang merangsang naluri seksual itulah yang merangsang, yang memberi sifat animal, bahkan dengan lambang ini, lukisan menjadi halus. Bila peristiwa cumbu-cumbuan itu secara langsung oleh penyair dilukiskan dengan lukisan manusia, maka akan menjadi lebih cabul, bersifat pornografis lagi.
Berikutnya merupakan analisis ke unsur-unsur, lapis-lapis norma yang lebih mengkhusus. Dalam tingkat pengalaman jiwa selain melukiskan pengalaman jiwa penyairnya, dapat juga berisi pengalaman jiwa yang lain. Suatu sajak yang bernilai, yang memancarkan keutuhan pengalaman jiwa penyair, kalau dianalsis hingga satu katanya pun atau kombinasi dua kata dapat dapat memancarkan beberapa pengalaman jiwa. Misalnya kata “kekasihku” dalam sajak Amir Hamzah “Hanya Satu”, bait terakhir.
Aduh kekasihku
Padaku semua tiada berguna
Hanya satu kutunggu hasrat
Merasa kau dekat rapat
Serupa rusa di puncak tursina

Kata “kekasihku” ini dapat memancarkan pengalaman jiwa tingkat anorganis, yaitu bunyinya merdu dalam kombinasi: Aduh kekasihku. Dan bunyi h itu dapat memperkuat suasana sedih dan sunyi. Jadi, ini pengalaman jiwa tingkat vegetatif. Juga arti kekasih itu menunjukkan perhubungan antara pria dan wanita, maka dapat menimbulkan rangsangan erotis, jadi, ini adalah pengalaman tingkat animal. Akan tetapi, kekasihku itu juga berhubungan dengan cinta yang tidak hanya menimbulkan nafsu seksual saja, yaitu bersifat human. Jadi, kata ini memancarkan pengalaman tingkat keempat. Akhirnya juga memancarkan pengalaman jiwa tingkat kelima, niveau religius karena kata “kekasihku” itu oleh Amir Hamzah dipergunakan untuk memanggil Tuhan, merupakan pengalaman peremuan antara manusia dengan Tuhan, hakikat tertinggi.
Suatu karya sastra yang baik dapat memancarkan pengalaman jiwa yang banyak.. tidak saja pengalaman jiwa tingkat-tingkat tinggi, melainkan juga tingkat-tingkat yang lebih rendah. Pengalaman jiwa tingkat rendah gunanya merangsang sehingga menimbulkan kejelasan. Di samping itu, kata-kata itu dapat mendramatisir suatu peristiwa ke depan mata kita supaya perhatian kita tertarik hingga kita turut mengalami pengalaman pengalaman jiwa penyair. Sebab itu, untuk ini dalam batas-batas tertentu, untuk menimbulkan kesegaran, penyair mengombinasikan lukisan pengalaman jiwa yang abstrak dengan konkret, mislanya Sitor Situmorang dalam sajak “Berita Perjalanan”.
Kujelajah bumi dan alis kekasih
Kuketok dinding segala kota
Semuanya menyisih.
Kujelajahi bumi, ungkapan ini kata biasa masih kurang menimbulkan rangsangan, dikombinasi dengan kata “alis kekasih” maka ungkapan ini menjadi hidup karena tenaga erotis dalam kata “alis kekasih” itu merangsang darah dan perasaan kita. Kemudian dalam sajak “Fargment” Chairil Anwar berkata:
Berceritalah cintaku/bukakan tubuhmu di atas sofa ini
Mengapa kau selalu berangkat dari kelam ke kelam
Dari kecemasan sampai ke istirahat dalam kecemasan.

Maksud “bukalah tubuhmu” itu supaya kekasihnya menceritakan segala ihwalnya dengan terus terang, seluruh pengalamannya. Maka dengan kata yang merangsang itu apa yang dimaksud penyair menjadi menonjol ke depan.
Dalam sajak “Moksha” A. Rossidhy berkata:
seribu mata tertuju padaku
hingga ke gelap pekat benci menuding
seolah aku telanjang di depan mereka.

Dengan ungkapan: seolah aku telanjang di depan mereka, penyair mengungkapkan rasa malunya yang hebat dan merasa berdosa terhadap seribu mata yang menuding, yang dimaksudkan mata orang-orang yang sengsara hidupnya, menagih janji kepada pemimpin.





sources:

Djoko Pradopo, Rachmat. 1994. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
K. S, Yudiono. 2009. Pengkajian Kritik Sastra Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Widisarana Indonesia.

Rabu, 22 Juni 2011

Teori Kontrastif dalam Pemerolehan Bahasa

A. Hakikat Teori Konstrastif
Dalam belajar bahasa, sering kali seseorang melakukan kesalahan dalam mengungkapkan sebuah kalimat akibat pengaruh konstruksi kalimat bahasa pertamanya, dan kebalikannya pada keadaan tertentu ia dimudahkan cara belajarnya oleh bahasa pertamanya. Menurut hipotesis kontrastif, yang dikemukaan oleh Charles Fries (1945) dan Robert Lado (1957), kesalahan yang dibuat tersebut disebabkan oleh adanya perbedaan antara bahasa pertama dan bahasa kedua, sedangkan kemudahan dalam belajarnya disebabkan oleh adanya kesamaan-kesamaan antara unsur B1 dan B2. Dengan kata lain, perbedaan B1dengan B2 menyebabkan kesulitan, sedangkan persamaan menyebabkan kemudahan. Dari teori ini, kita mendapat keterangan bahwa pemerolehan bahasa, apakah itu pemerolehan bahasa kedua, ataupun bahasa ketiga, sedikit banyak keberhasilannya ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai oleh pembelajar sebelumnya. Teori ini berhipotesis bahwa keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai oleh pembelajar berpengaruh terhadap proses pemerolehan bahasa yang dipelajari atau yang berusaha dikuasainya (Klein, 1986:5).
Hipotesis analisis kontrastif lebih lanjut menyatakan bahwa seorang pembelajar bahasa sering kali melakukan transfer antara B1 dengan B2 dalam bentuk penggunaan struktur B1 untuk mengungkapkan gagasan dalam B2. Atas dasar pemikiran tersebut maka para ahli bahasa berusaha mendeskripsikan bahasa-bahasa di dunia, dengan harapan para pengajar atau praktisi akan dapat memprediksi letak kesulitan dan kemudahaan anak dalam belajar nanti, sesuai dengan latar belakang B1-nya. Namun, analisis kontrastif tidak menjelaskan proses belajar bahasa dan kemungkinan untuk menghapuskan kesalahan yang mungkin dibuat oleh anak.
Hasil penelitian membuktikan bahwa transfer dapat diamati pada tingkat-tingkat kebahasaan, baik fonologi, morfologi, sintaksis, dan leksikon. Sedangkan pada aspek morfologi jarang ditemui. Untuk mengetahui kekhilafan yang terjadi dalam transfer, pembelajar harus tahu banyak tentang bahasa kedua. Berdasarkan sifatnya, maka transfer dapat dibagi menjadi dua bagian. Transfer yang bersifat membantu karena kesamaan atau kesejajaran disebut transfer positif. Sebaliknya apabila transfer itu bersifat mengacaukan karena perbedaan sistem bahasa maka transfer itu disebut transfer negatif.

B. Prinsip-prinsip Teori Konstrastif
Dari teori kontrastif ini, kita mendapat keterangan bahwa pemerolehan bahasa, apakah itu pemerolehan bahasa kedua, ataupun bahasa ketiga sedikit banyak keberhasilannya ditentukan oleh keadaan linguistik bahasa yang telah dikuasai oleh pembelajar sebelumnya. Teori ini berhipotesis bahwa keadaan linguistis bahasa yang telah dikuasai oleh pembelajar berpengaruh terhadap proses pemerolehan bahsa yang dipelajari atau yang berusahaa dikuasainya (Klein, 1986:5)
Berbahasa kedua atau berbahasa ketiga adalah proses transferisasi. Jika struktur bahasa yang dikuasai oleh pembelajar sebelumnya, misalnya, banyak memiliki persamaan dengan struktur bahasa yang berusaha diperolehnya, terjadilah semacam pemudahan dalam proses transferisasinya. Namun demikian, jika struktur antarkeduanya memiliki persamaan dengan struktur antarkeduanya memiliki perbaedaan, pembelajar akan mengalami kesulitan di dalam memeroleh bahasa yang sedang dipelajarinya. Semakin terdapat perbedaan struktur antara yang ada dalam bahasa pertama dengan yang ada dalam bahsa kedua, usaha yang harus dilakukan pembelajar di dalam memeroleh dan menguasai bahasa kedua haruslah lebih sungguh-sungguh.
Menurut analisis kontrastif, semakin besar perbedaan keadaan linguistik bahasa yang dikuasai oleh pembelajar sebelumnya dengan keadaan linguistik bahasa yang akan dipelajarinya, semakin besar pula kesulitaan yang akan dialami oleh pembelajar dalam memeroleh bahasa sasaran (Banathy, 1969:79). Dengan analisis kontranstif, pengajar maupun pembelajar bahasa kedua dapat mengetahui tingkat persamaan dan perbedaan linguistik bahasa pertama dengan bahasa kedua atau bahasa target dengan bahasa yang dipelajarinya (Ellis, 1986:20). Melalui analisis kontrastif, tingkat persamaan dan perbedaan antara bahasa pertama dan bahasa kedua dapat diketahui. Dengan diketahuinya tingkat persamaan serta perbedaan itu dapat ditentukan strategi pembelajaran yang paling efektif untuk digunakan (Dulay, 1982:96).

source :

Kamis, 16 Juni 2011

TEORI MENTALISME / NATIVISME

Berbeda dengan kaum behaviorisme, kaum nativis atau mentalis berpendapat bahwa pemerolehan bahasa pada manusia tidak boleh disamakan dengan proses pengenalan yang terjadi pada hewan. Mereka tidak memandang penting pengaruh lingkungan sekitar. Selama belajar bahasa pertama, sedikit demi sedikit manusia akan membuka kemampuan lingualnya yang secara genetis telah diprogramkan.
Pada hakikatnya aliran nativisme menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak. Oleh karena itu, faktor lingkungan termasuk faktor pendidikan kurang berpengaruh terhadap perkembangan anak. Hasil perkembangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetik dari orang tua. Istilah Nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat.
Pendidikan anak yang tidak sesuai dengan bakat yang dibawa tidak akan berguna bagi perkembangan anak itu sendiri. Prinsipnya, teori Nativisme adalah pengakuan tentang adanya daya ahli yang telah terbentuk sejak manusia lahir ke dunia serta kemampuan lain yang kapasitasnya berbeda dalam diri tiap manusia. Ada yang tumbuh dan berkembang sampai pada titik maksimal kemampuannya, dan ada pula yang hanya sampai pada titik tertentu. Misal, seorang anak yang berasal dari keluarga seniman musik, akan berkembang menjadi seniman musik yang mungkin melebihi orang tuanya atau mungkin juga hanya setengah dari kemampuan kedua orang tuanya.
Dalam teori ini dinyatakan bahwa perkembangan manusia merupakan pembawaan sejak lahir atau bakat. Teori ini dipelopori oleh filosiof Jerman, Arthur Schopenhauer yang beranggapan bahwa faktor pembawaan yang bersifat kodrati tidak dapat diubah oleh alam sekitar atau pendidikan.
Ada beberapa faktor yang memengaruhi perkembangan anak dalam teori Nativisme:
1. Faktor Genetik.
Faktor genetik adalah faktor gen dari kedua orang tua yang mendorong adanya suatu bakat yang muncul dari diri manusia.
2. Faktor Kemampuan Anak.
Faktor kemampuan anak adalah faktor yang menjadikan seorang anak mengetahui potensi yang terdapat dalam dirinya. Faktor ini lebih nyata karena anak dapat mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya.
3. Faktor Pertumbuhan Anak
Faktor pertumbuhan anak adalah faktor yang mendorong anak mengetahui bakat dan minatnya di setiap pertumbuhan dan perkembangan secara alami sehingga jika pertumbuhan anak itu normal maka dia akan bersikap enerjik, aktif, dan responsif terhadap kemampuan yang dimiliki. Sebaliknya, jika pertumbuhan anak tidak normal, maka anak tersebut tidak bisa mengenali bakat dan kemampuan yang dimiliki.
Chomsky (1959) menyerang sangat tajam teori behaviorisme yang ditokohi Skinner. Menurut Chomsky, tingkah laku manusia jauh lebih rumit daripada tingkah laku binatang, tikus. Dengan kerumitannya itulah sehingga mustahil pemerian stimulus eksternal dan respons mampu menentukan tingkah laku bahasa. Bagi Chomsky, yang mampu memikul tanggung jawab tingkah laku bahasa hanyalah kemampuan bawaan (inner comprephrension). Spekulasi Skinner itu bersifat premature dalam arti berlaku pada tahap paling awal sebelum seseorang atau anak memeroleh pengertian yang lebih baik dari sistem linguistik yang dipelajarinya (Hamid dalam Tolla, 1990:15).
Chomsky dengan keras menentang teori pembiasaan operan dalam pemerolehan bahasa yang dikemukakan Skinner. Menurutnya, tidak ada gunanya sama sekali untuk menjelaskan proses pemerolehan bahasa tanpa mengetahui sebenarnya bahasa sebagai benda yang sedang diperoleh itu. Untuk dapat menerangkan hakikat proses pemerolehan bahasa, di samping memahami apa sebenarnya bahasa itu, kita tidak boleh menyampingkan pengetahuan mengenai struktur-dalam organisme, yakni bagaimana cara – cara organisme memproses masukan informasi dan bagaimana cara – cara perilaku berbahasa itu diatur.
Untuk lebih memperkuat teorinya atau hipotesisnya Chomsky mengajukan hal – hal berikut.
1. Proses – proses pemerolehan bahasa pada semua anak – anak boleh dikatakan sama.
2. Proses pemerolehan bahasa tidak ada kaitannya dengan kecerdasan. Maksudnya, anak yang IQ-nya rendah juga memeroleh bahasa pada waktu dan cara yang hampir sama.
3. Proses pemerolehan bahasa juga tidak dipengaruhi oleh motivasi dan emosi anak – anak.
4. Tata bahasa yang dihasilkan oleh semua anak – anak boleh dikatakan sama.
Salah seorang penganut teori mentalisme adalah Lennenberg (1967). Ia berpendapat bahwa bahasa merupakan species-specific dengan cara tertentu dalam perilaku bahasa yang ditentukan secara biologis. Bahasa adalah mekanisme yang bersifat bawaan yang disebut alat pemerolehan bahasa (LAD) dan yang memungkinkan seorang anak memformulasikan sistem bahasa yang bersifat abstrak. Mekanisme bahasa yang bersifat bawaan bekerja sesuai urutan dan aturan berikut;
Apabila anak disuruh menggunakan bahasa, mekanisme ini berpacu dan memformulasikan hipotesis struktur bahasa yang memungkinkan terjadinya kontak. Hipotesis secara tetap diperiksa kembali oleh mekanisme tersebut melalui penggunaan bahasa (Said dalam Tolla, 1990). Tingkatan ini tercapai apabila anak sudah dapat menggunakan satu atau dua kata dalam tuturannya. Proses ini berjalan terus dan mengalami banyak kesalahan, tetapi kesalahan tersebut diperiksa kembali sampai anak menguasai tata bahasa secara tepat.
Rangkaian selanjutnya adalah lingkungan memberikan sumbangan yang terus-menerus dalam proses perkembangan mental dan kepribadian. Faktor bawaan diperkaya dan dikembangkan oleh faktor lingkungan dalam bentuk pengalaman, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja. Chomsky (1978) dalam Ide Said (1987) mengatakan bahwa telah terjadi perselisihan penganut faktor bawaan dan penganut faktor lingkungan. Sebagian ahli psikologi menekankan faktor lingkungan dan sebagian lagi menekankan faktor bawaan. Faktor – faktor keturunan yang berhubungan dengan faktor lingkungan ini dalam perkembangan selanjutnya banyak dipertanyakan oleh para ahli.
Manusia mempunyai bakat untuk terus – menerus mengevaluasi sistem bahasanya dan terus menerus merevisi untuk pada akhirnya menuju bentuk yang berterima di masyarakat/lingkungannya.

Rabu, 08 Juni 2011

Implikasi Teori Behaviorisme bagi Pengajaran Bahasa

Behaviorisme adalah sebuah teori pembelajaran dengan rumus sebagai berikut: Stimulus ̬ Respon ̬ Perubahan tingkah laku ̬ Penguatan. Teori ini lebih mementingkan respon yang dihasilkan. Input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon yang menghasilkan perubahan tingkah laku adalah bagian yang terpenting. Karena bagian ini yang akan diamati dan dibuktikan secara empiris. Sedangkan proses pembelajaran tidak dianggap penting sama sekali. Selain dari faktor stimulus (input) dan respon (output), faktor lain yang juga dianggap penting adalah penguatan (reinforcement). Teori ini dipelopori oleh Pavlov, Watson, Hull, Guthrie dan Skinner. Setiap dari pelopor Рpelopor ini memberikan kontribusi yang kuat bagi perkembangan teori ini dari awal perkebangannya hingga sekarang.
Salah satu usaha yang sangat gigih untuk membangun teori behaviorisme itu dalam hubungannya dengan pembelajaran dan pemerolehan bahasa pertama dilakukan oleh B.F. Skinner yang sekarang dikenal dengan teori verbal (verbal behavior). Skinner mengadakan eksperimen-eksperimen dengan anak-anak kecil untuk mengetahui reaksi atau respons mereka dalam asosiasi kata, pengelompokan bunyi, dan sebagainya. Hasil eksperimen-eksperimen ini dilaporkan oleh Skinner kepada para peserta Seminar di Universitas Harvard dalam buku yang berjudul Verbal Behavior (op.cit).
Persoalan inti dari analisis Skinner ialah bahwa bunyi-bunyi ujar (Speech Sound) diucapkan dan diperkuat sama seperti perilaku nonverbal lainnya. perilaku berhasa manusia dibentuk oleh penguatan yang lazim dipakai dalam masyarakat kita.Urutan:Rangsangan→Jawaban→Penguatan(stimulus→Response→Reinforcement) disebut dalam psikologi Behaviorisme operant conditioning atau “pembiasaan yang membuahkan hasil”. Menurut Skinner, hadiah jauh lebih efektif daripada hukuman dalam situasi pengajaran kebiasaan. Skinner berkesimpulan bahwa tugas para pelajar bahasa pertama harus diatur sedemikian rupa sehingga mereka mempunyai peluang banyak untuk memberi respons yang benar.
1. Implikasi Dalam Behaviorisme Melalui Kasus Pembelajaran
Dalam behaviorisme, seorang guru selaku pengajar dan pengawas jalannya pembelajaran memiliki kemiripan dengan seorang peneliti yang akan meneliti objek penelitiannya. Dimana seorang peneliti akan mengambil jarak atau distansi penuh dengan objeknya, bersikap netralitas, memanipulasi, merumuskan hukum – hukum, bebas kepentingan, universal dan instrumental terhadap objeknya. Dalam hal ini guru juga berlaku hal yang sama terhadap siswa – siswi didiknya. Penulis mengambil contoh kasus dalam pembelajaran musik yang menggunakan pendekatan teori behaviorisme.
Ketika seorang guru ingin mengajarkan bagaimana mengajarkan tanggan nada kepada muridnya, ia akan mengamati terlebih dahulu bagaimana keadaan fisik jari murid – muridnya dan kemampuan dasar yang dimiliki oleh tiap murid dengan sikap berjarak. Guru akan berfikir ia sebagai subjek dan murid – murid adalah sebagai objek. fakta netral harus dimiliki oleh sang guru dalam menghadapi muridnya. Sebuah pemikiran yang bersih dari unsur- unsur subjektifnya. Ditahap ini materi – materi pembelajaran akan diberikan sebagai bentuk stimulus dari guru terhadap muridnya. Guru akan menjelaskan dan mencotohkan tentang bagaimana musik rangkaian sebab – akibat dalam pengajaran akan didapatkan sebagai hasil. Rangkaian sebab (pemberian stimulus) – akibat ini akan menghasilkan sebuah respon dari murid dimana respon ini akan membentuk sebuah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pembelajaran. teori – teori tersebut akan dipraktekkan secara instrumental dan universal di kelas – kelas selanjutnya.
Kasus singkat diatas adalah contoh dari sebuah pengajaran di kelas dengan penerapan teori behaviorisme. Guru memberikan sebuah stimulus berupa materi – materi pengajaran dan mengharapkan akan mendapatkan sebuah respon yang berupa perubahan tingkah laku dari murid – muridnya. Perubahan tingkah laku dalam bentuk dari ketidaktahuan dan ketidakmampuan untuk mempraktekkan pelajaran yang diberikan berubah menjadi mampu untuk mempraktekkannya. Guru tidak melihat bagaimana proses murid – murid mencerna materi pengajaran, guru hanya melihat bagaimana hasil akhir yang diperoleh. Reinforcement positive atau negative yang akan diberikan tergantung dari bagaimana perubahan tingkah laku yang dihasilkan.
2. Aplikasi teori behaviouristik terhadap pembelajaran siswa
Guru yang menggunakan paradigma behaviorisme akan menyusun bahan pelajaran yang sudah siap sehingga tujuan npembelajaran yang dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak hanya memberi ceramah tetapi juga contoh-contoh. Bahan pelajaran disusun hierarki dari yang sederhana sampai yang kompleks. Hasil dari pembelajaran dapat diukur dan diamati, kesalahan dapat diperbaiki. Hasil yang diharapkan adalah terbentuknya suatu perilaku yang diinginkan
3. Kekurangan dan kelebihan
Metode ini sangat cocok untuk pemerolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsure kecepatan spontanitas kelenturan daya tahan dsb. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan peran orang tua. Kekurangan metode ini adalah pembelajaran siswa yang berpusat pada guru bersifat mekanistis dan hanya berorientasi pada hasil. Murid dipandang pasif, murid hanya mendengarkan, menghafal penjelasan guru sehingga guru sebagai sentral dan bersifat otoriter.

Kamis, 12 Mei 2011

Teori Belajar Bahasa (Teori Behavioristik, Nativistik, dan Kognitivistik

A. TEORI BEHAVIORISTIK
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Secara umum, teori ini menganalisis perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori Behavioristik lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
Dalam hal pembelajaran bahasa, pendekatan behaviorisme memumpunkan perhatiannya pada aspek yang dapat dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa dan hubungan antara respons dan peristiwa di dunia yang mengelilinginya. Menurut kaum behavioris, bahasa merupakan bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia. Seorang behavioris menganggap bahwa perilaku berbahasa yang efektif merupakan hasil respons tertentu yang dikuatkan, respons itu akan menjadi kebiasaan atau terkondisikan.
Salah satu percobaan yang terkenal untuk membentuk model perilaku berbahasa dari sudut pandang behavioris ialah yang dikemukakan oleh Skinner (1957) dalam Verbal Behaviour. Teori Skinnner tentang perilaku verbal merupakan peluasan teorinya tentang belajar yang disebutnya operant conditioning. Konsep ini mengacu pada kondisi di mana manusia atau binatang mengirimkan respons atau operant (ujaran atau sebuah kalimat), tanpa adanya stimulus yang tampak. Operant itu dipertahankan dengan penguatan. Misalnya, jika seorang anak kecil mengatakan minta susu dan orang tuanya memberinya susu, operant itu dikuatkan. Dengan perulangan yang terus-menerus operant semacam itu akan terkondisikan. Menurut Skinner, perilaku verbal, seperti perilaku yang lain, dikendalikan oleh akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan dan kekuatan serta frekuensinya akan terus dikembangkan. Bila akibatnya hukuman, atau bila kurang adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan disingkirkan.
Noam Chomsky (1959) yang diikuti oleh Kenneth MacCorquodale (1970). Beberapa linguis dan ahli psikologi sependapat bahwa model Skinner tentang perilaku berbahasa dapat diterima secara memadai untuk kapasitas memperoleh bahasa, untuk perkembangan bahasa itu sendiri, untuk hakikat bahasa, dan untuk teori makna. Teori yang didasarkan pada penciptaan kondisi dan penguatan itu ternyata sulit untuk menjelaskan fakta bahwa ada kalimat baru yang kita ujarkan atau kita tulis yaitu kalimat yang tak pernah kita ujarkan atau kita tuliskan sebelumnya. Ujaran yang baru itu diciptakan oleh pembicara dan diproses oleh pendengarnya.
Tampaklah bahwa pendapat para ahli psikologi behaviorisme yang menekankan pada observasi empirik dan metode ilmiah hanya dapat mulai menjelaskan keajaiban pemerolehan dan belajar bahasa dan ranah kajian bahasa yang sangat luas masih tetap tak tersentuh.

B. TEORI NATIVISTIK
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Teori ini muncul dari filsafat nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Pelopor aliran Nativisme adalah Arthur Schopenhauer seorang filosof Jerman yang hidup tahun 1788-1880. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan individu ditentukan oleh bawaan sejak ia dilahirkan. Faktor linkungan sendiri dinilai kurang berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Pada hakekatnya aliran Nativisme bersumber dari Leibnitzian Tradition, sebuah tradisi yang menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak. Hasil perkambangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetik dari kedua orang tua.
Dalam hal pembelajaran bahasa, istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa kita dilahirkan itu sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari berbagai sisi.
Menurut Chomsky, bakat bahasa itu terdapat dalam kotak hitam (black box) yang disebutnya sebagai language acquisition device (LAD) atau piranti pemerolehan bahasa. McNeill mendeskripsikan LAD itu terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
kemampuan membedakan bunyi ujaran dengan bunyi yang lain dalam lingkungannya;
kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam;
pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak mungkin;
kemampuan untuk tetap mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang diperoleh.

C. TEORI KOGNITIVISTIK
Kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya.
Beberapa nama penting yang diasosiasikan dengan teori belajar kognitivisme:
1. Bruner: Teori Belajar Penemuan (Discovery Learning)
Suatu pendekatan dalam belajar dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan memanipulasi obyek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan dan kontroversi atau melakukan percobaan.
2. Ausubel : Teori Belajar Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
3. Robert Gagne: Model Pemrosesan Informasi
Gagne berpendapat bahwa proses belajar adalah suatu proses dimana siswa terlibat dalam aktivitas yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan yang tidak dimiliki sebelumnya.
4. Jean Piaget (1896 – 1980): Cognitive Development Model
Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya skema-skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.
5. Teori Belajar Kognitivif Gagne
Gagne melihat proses belajar mengajar dibagi menjadi beberapa komponen penting yaitu: (1) Fase – fase pembelajaran (2) Kategori utama kapabilitas/kemampuan manusia/outcomes (3) Kondisi atau tipe pembelajaran (4) Kejadian-kejadian instruksional.
6. Teori Belajar Kognitivif Vytgosky
Vygotsky membedakan secara fundamental antara kegiatan berbasis stimulus-respons, alat dan bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih belia, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan menyatu. Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa.

Kamis, 05 Mei 2011

Implikatur

Implikatur berasal dari bahasa latin implicare yang berarti "melipat". hal ini dijelaskan oleh Mey melalui Nadar (2009:60) bahwa untuk mengetahui apa yang dilipat harus dengan cara membukanya. dengna kata lain, implikatur dapat dikatakan sebagai sesuatu yang terlipat.
Implikatur secara sederhana dapat diartikan sebagai makna tambahan yang disampaikan oleh penutur yang terkadang tidak terdapat dalam tuturan itu sendiri. Sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan tersebut oleh Grice disebut sebagai implikatur percakapan.
Secara garis besar terdapat dua jenis implikatur. Yang pertama adalah implikatur konvensional. Implikatur ini lebih menjelaskan pada apa yang yang diutarakan. Sedangkan yang kedua telah disebut pada paragraf sebelumnya yaitu implikatur percakapan. Implikatur percakapan lebih menekankan maksud lain dari apa yang dituturkan.
Sebagai contoh perhatikan tuturan A terhadap B berikut :
A : Besok saya akan mengadakan syukuran kelulusan anak saya
B : Saya ada acara besok.
Secara konvensional percakapan di atas mempunyai maksud bahwa A memberikan informasi bahwa ia akan mengadakan acara syukuran anaknya yang lulus dan B juga menginformasikan bahwa pada saat A mengadakan acara, B memiliki acara lain secara bersamaan. Namun, ternyata ada makna yang lebih jauh dari percakapan di atas dan ini dapat dijelaskan melalui implikatur percakapan. Tuturan A kepada B sebenarnya tidak semata-mata sebagai informasi akan acara yang hendak ia lakukan, tetapi dibalik itu terdapat maksud lain, yaitu A bermaksud mengundang B untukdatang pada acara yang ia lakukan. Sedangkan jawaban B juga memiliki maksud yaitu menyatakan ketidaksanggupan B untuk menghadiri acara A. Hal ini dapat dikatakan sebagai ungkapan penolakan B terhadap undangan A dengan cara yang lebih halus dan tidak menyinggung perasaan A karena adanya alasan mengapa B tidak dapat memenuhi undangan A tersebut.
Dalam implikatur, baik dalam bentuk implikatur konvensional maupun implikatur percakapan, pembicara sering menyampaikan maksudnya lebih dari apa yang dirumuskan oleh Brown & Yule dan Samsuri dalam Sugira Wahid dan Juanda (2006:94) bahwa implikatur implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau yang dimaksud oleh pembicara berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah.
Menurut Searle (Dalam Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 93) dalam tindak ilokusi tidak langsung, pembicara (penulis) menyampaikan maksudnya kepada pendengar (pembaca) lebih dari apa yang ujarkannya dengan menghubungkan informasi latar belakang bersama kedua pihak (pemberi dan penerima informasi), baik yang bersifat kebahasaan maupun yang bersifat nonkebahasaan. Konsep tindak ilokusi tidak langsung tersebut berkaitan dengan konsep implikatur.
Keterhubungan pengertian tindak tutur tak langsung dengan pengertian implikatur tampak dalam contoh Leech, yaitu :
Very hot in here, isn’t it?
(Panas sekali disini, bukan?)
Ujaran tersebut merupakan contoh baik ilokusi tidak langsung maupun implikatur. Dalam contoh tersebut, pembicara secara implisit menghendaki agar mesin pendingin dihidupkan. Tetapi dalam siatuasi lain, tuturan tersebut dapat merupakan pembuka pembicaraan agar suasana tidak terasa kaku. Karena itu Brown dan Yule dan Samsuri (dalam Sugirah Wahid dan Juanda, 2006: 94) mengatakan bahwa hal semacam itu merupakan kelemahan teoari tindak tutur karena dalam sebuah ujaran dapat terjadi sekaligus beberapa tindak bahasa, sedangkan teori tindak tutur tidak memberi saran cara menentukan bagaimana kita menentukan unsur kebahasaan tertentu untuk menerima tafsiran makna yang tertentu pula. Karena itulah maka untuk menghindari hal semacam itu, Grice (1975) memberikan sebuah prinsip yang disebut prinsip kooperatif dan empat buah maksim yang menunjang prinsip tersebut. Keempat maksim tersebut antara lain:
(1) Maksim kuantitas (maxim of quantity)
(2) Maksim kualitas (maxim of quality)
(3) Maksim relevansi (maxim of relefance)
(4) Maksim pelaksanaan (maxim of manner)

Berikut ini Prinsip Kerja Sama Grice (1975) tersebut selengkapnya.
1. Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)
- Jadikan kontribusia Anda seinformatif mungkin sebagaimana yang diperlukan.
- Jangan membuat kontribusi lebih informatif dari yang diperlukan.

Seorang penutur diharapakan dapat memberiakan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan simitra tutur. Tuturan yang diperlukan si mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerjasama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas.
Berikut ini contohnya :
(1.a) “ Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi !”
(1.b) “ Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi !”
Informasi indeksal
Tuturan (1.a) dan (1.b) dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali kepada rekannya yang juga mengagumi petinju legendaris itu. Tuturan itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu acara tinju di televisi.
Tuturan tuturan (1.a) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti ditunjukkan pada tuturan (1.b) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada tuturan (1.b) di atas tidak mendukung atau bahkan melanggar prinsip Kerja Sama Grice.

Dalam sebuah interaaksi, para peserta juga menaati maksim kuantitas submaksim kedua, yakni tidak memberikan informasi yang lebih dari yang dibutuhkan. Dalam realisasinya, hal tersebut terjadi apabila penutur merespon inisiasi yang berupa pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”. Perhatikan wacana berikut:
[2] A : Mengapa Anda belajar Bahasa Inggris? (1.c)
B : Karena jika menguasai Bahasa Inggris, saya akan mampu berkomunikasi dengan orang asing, memahami buku-buku berbahasa Inggris, dan lebih mudah mendapat pekerjaan. (1.d)

Pada wacana di atas, inisiasi A dengan tuturan (1.c) direspon dengan informasi yang memadai dalam tuturan (1.d). Karena inisiasi berupa pertanyaan “mengapa”, maka respon yang diberikan lebih panjang dibanding respon terhadap inisiasi “apa” atau “siapa”.Dengan demikian dapat dikatan bahwa pada wacana di atas para peserta tutur telah menaati maksim kuantitas, submaksim kedua.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penaatan maksim kuantitas dalam sebuah interaksi berfungsi untuk (1) menyampaikan informasi yang jelas, (2) meminta bantuan, dan (3) menghindari kesalahpahaman.Singkatnya, penaatan maksim kuantitas dilakukan peserta tutur agar interaksi yang diikuti berlangsung dengan lancar dan sampai pada tujuannya.

2. Maksim kualitas (The Maxim of Quality)
- Jangan katakan apa yang dianggap sebagai pernyataan yang salah.
- Jangan katakan jika buntinya kurang memadai.

Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta yang sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan (2.a) dan tuturan (2.b) pada bagian berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.
(2.a) “ Silahkan menyontek saja biar nanti asaya mudah menyonteknya!”
(2.b) “ Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti !
Informasi Indeksal:
Tuturan (2.a) dan (2.b) dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang melakukan usaha penyontekan
Tuturan (2.a) jelas lebih memungkikan terjadinya kerja sama anatara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (2.b) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang dilakukan oleh seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdpat seorang dose yang mempersilakan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung
Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi.
Maksim kualitas menyarankan agar peserta tutur dalam suatu interaksi (1) tidak memberikan informasi yang diyakini salah (bohong), dan (2) tidak memberikan informasi yang tidak didukung cukup bukti. Hal tersebut terwujud jka para peserta tutur memberikan sumbangan informasi yang diyakini benar, dan apa yang diinformasikan didukung oleh bukti yang memadai. Kebenaran yang dimaksud dapat berupa kebenaran factual, kebenaran proporsional, dan kebenaran spiritual.
Untuk menentukan kebenaran suatu informasi tidaklah mudah.Dalam realisasinya, hakikat kebenaran dan ketidakbenaran suatu informasi, kebongan dan kejujuran seseorang, yang paling tahu adalah orang yang bersangkutan. Karena tidak mungkin kita melihat apa yang ada di balik benak para peserta tutur, Stubbs (1983) menyarankan agar kita bertumpu pada kebenaran faktual, yakni kebenaran yang didasarkan pada fakta. Kebenaran proporsional merupakan kebenaran yang didasarkan pada prinsip logika yang benar. Sedangkan kebenaran spiritual merupakan kebenaran yang didasarkan pada keyakinan spiritual yang biasanya disadari secara umum

3. Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)
- Buatlah agar pernyataan itu relevan.

Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.

Maksim hubungan menyarakan agar para peserta tutur memberikan informasi yang relevan dengan topik pembicaraan. Dalam realisasinya, para peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati maksim hubungan dengan cara menyampaikan tuturan yang berisi informasi yang relevan dengan alur interaksi yang sedang diikuti. Wacana interaksi di pengadilan berikut patut diperhatikan:
[1] H : Nama? (a)
S : Suparmin. (b)
H : Alamat? (c)
S : Sawojajar, Malang. (d)
H : Pekerjaan? (e)
S : Swasta. (f)

Pada wacana [1] di atas, saksi (S) memberikan informasi yang relevan dengan inisiasi yang diberikan oleh hakim (H).tuturan S (a), (c), dan (e) selalu relevan dengan inisiasi H (b), (d), dan (f). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa S telah menaati maksim hubungan.
Relevansi suatu tuturan dilihat dalam kerangka hubungan yang lebih luas, yakni memiliki relevansi dengan konteks yang sedang terjadi meskipun secara literal tidak menunjukkan hubungan. Wacana interaksi antara penjual sate dan pembeli berikut patut diperhatikan:
[2] Pj : Kambing apa ayam, pak? (a)
Pb : Kambing sepuluh, pak. (b)
Pj : Kecap apa kacang? (c)
Pb : Kacang. Jangan pedes! (d)

Dalam wacana [2] di atas, secara literal informasi yang diberikan Pb kepada Pj tidak berhubungan. Namun dalam konteks memberli sate, informasi yang diberikan Pb melalui tuturan (b) dan (d) memiliki relevansi dengan inisiasi Pj mealui tuturan (a) dan (c). Karena para peserta tutur memiliki praanggapan yang sama, maka inisiasi yang diajukan Pj dan respon yang diberikan Pb memiliki relevansi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Pb telah menaati maksim hubungan.

Secara umum, penaatan maksim hubungan dalam sebuah interaksi berfungsi untuk membuat setiap tuturan yang disampaikan memberi informasi yang relevan dengan tuturan yang direspon dan situasi ujarnya.Secara khusus, penaatan maksim hubungan memiliki fungsi untuk (1) mengusut kebenaran informasi, (2) mencari informasi, dan (3) memberikan informasi yang benar.

4. Maksim Cara (The Maxim of Manner)
- Hindari pernyataan yang kurang kabur
- Hindari ketaksaan
- Buatlah ujaran sesingkat mungkin
- Buatlah ujaran secara berurutan.

Dalam realisasinya, peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati maksim cara dengan cara menghindari tuturan yang kabur, menghindari tuturan yang berarti ganda, tidak berbelit-belit, dan menyampaikan tuturan secara teratur. Biasanya, tuturan yang menaati maksim kuantitas sekaligus juga menaati maksim cara. Perhatikan wacana berikut:
[3] A : Berapa (hasil akhir) Chelsea lawan Liverpool? (a)
B : Tiga, satu. (b)
A : Di final, kamu pegang mana? (c)
B : MU (Manchester United). (d)

Pada wacana [3] di atas, B memberikan informasi yang dibutuhkan oleh A. Wacana di atas memiliki konteks semifinal liga Champion antara Chealsea melawan Liverpool. Tuturan (b) memberikan informasi skor akhir pertandingan semi final antara Chelsea melawan Liverpool, sedangkan tuturan (d) memberikan informasi tentang tim favorit juara, karena sebelumnya MU telah menang melawan Barcelona 1-0. Karena itu dapat dikatakan bahwa B telah menaati maksim cara.
Secara umum, penaatan maksim cara dalam sebuah interaksi memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi secara jelas, tidak ambigu, singkat dan teratur dalam rangka menunjang tercapainya tujuan interaksi yang sedang diikuti. Secara khusus, penaatan maksimcara berfungsi untuk (1) menyampaikan informasi yang singkat dan jelas, dan (2) menghindari kesalahpahaman.



Sources :
Rahardi, Kunjana. 2006. Pragmatik. Jakarta: Erlangga.
Wahid, Sugira dan Juanda. 2006. Analisis Wacana. Makassar: Badan Penerbit UNM.

Sabtu, 26 Februari 2011

Bahasa dan Ragam Bahasa

Bahasa
Banyak ilmuan yang berbicara dan mendefinisikan bahasa. Ini bisa dimengerti karena sejak zaman Yunani Latin, dengan tokoh terkenal Aristoteles, orang sudah mambicarakannya. Orang-orang Yunani yang pengaruhnya cukup besar sampai sekarang menganggap bahasa itu sebagai alat manusia untuk mengekspresikan pikiran dan perasaannya. Batasan ini benar tetapi tidak seluruhnya karena batasan ini memberi kesan, orang baru berbahasa jikalau ada pikiran atau perasaan yang ingin diungkapkan. Bahasa itu juga dapat mempengaruhi pikiran.
Pandangan muncul dari linguistik struktural dengan tokoh Bloomfield bahwa bahasa adalah sistem lambang bunyi yang bersifat sewenang-wenang (arbitrer) yang dipakai oleh anggota-anggota masyarakat untuk saling berhubungan dan berinteraksi. Karena merupakan suatu sistem, bahasa itu mempunyai aturan-aturan yang saling bergantung dan mengandung struktur unsure-unsur yang bisa dianalisis secara terpisah-pisah. Orang berbahasa mengeluarkan bunyi-bunyi yang berurutan membentuk suatu struktur tertentu. Bunyi-bunyi itu merupakan lambang, yaitu yang melambangkan makna yang bersembunyi di balik bunyi itu.
Pengertian sederetan bunyi itu melambangkan suatu makna bergantung pada kesepakatan atau konvensi anggota masyarakat pemakainya. Hubungan antara bunyi dan makna itu tidak ada aturannya, jadi sewenang-wenang. Tetapi, karena bahasa itu mempunyai sistem, tiap anggota masyarakat terikat pada aturan dalam sistem itu yang sama-sama dipatuhi.

Ragam Bahasa
1. Ragam bahasa berdasarkan media/sarana, meliputi:
a. Ragam bahasa lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk mengungkapkan ide.
b. Ragam bahasa tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat, ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda baca dalam mengungkapkan ide.

2.Ragam bahasa berdasarkan penutur, meliputi:
a.Ragam bahasa berdasarkan daerah disebut ragam daerah (logat/dialek).
Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa. Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan Tapanuli. Masing-masing memiliki ciri khas yang berbeda-beda. Misalnya logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak pada pelafalan /b/ pada posisi awal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung, Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan /t/ seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll.
b. Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur.
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa asing, misalnya fitnah, kompleks, vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin, pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa, misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya dipakai.
c.Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur.
Ragam bahasa dipengaruhi juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis juga mempengaruhi sikap tersebut.