Search Box

Kamis, 12 Mei 2011

Teori Belajar Bahasa (Teori Behavioristik, Nativistik, dan Kognitivistik

A. TEORI BEHAVIORISTIK
Teori belajar behavioristik adalah sebuah teori yang dicetuskan oleh Gage dan Berliner tentang perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman. Secara umum, teori ini menganalisis perilaku yang nampak saja, yang dapat diukur, dilukiskan, dan diramalkan. Teori Behavioristik lebih menekankan pada tingkah laku manusia. Memandang individu sebagai makhluk reaktif yang memberirespon terhadap lingkungan.
Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus-responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode pelatihan atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan penguatan dan akan menghilang bila dikenai hukuman. Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000:143). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon.
Faktor lain yang dianggap penting oleh aliran behavioristik adalah faktor penguatan (reinforcement). Bila penguatan ditambahkan (positive reinforcement) maka respon akan semakin kuat. Begitu pula bila respon dikurangi/dihilangkan (negative reinforcement) maka respon juga semakin kuat.
Tokoh-tokoh aliran behavioristik di antaranya adalah Thorndike,Watson, Clark Hull, Edwin Guthrie, dan Skinner.
Dalam hal pembelajaran bahasa, pendekatan behaviorisme memumpunkan perhatiannya pada aspek yang dapat dirasakan secara langsung pada perilaku berbahasa dan hubungan antara respons dan peristiwa di dunia yang mengelilinginya. Menurut kaum behavioris, bahasa merupakan bagian fundamental dari keseluruhan perilaku manusia. Seorang behavioris menganggap bahwa perilaku berbahasa yang efektif merupakan hasil respons tertentu yang dikuatkan, respons itu akan menjadi kebiasaan atau terkondisikan.
Salah satu percobaan yang terkenal untuk membentuk model perilaku berbahasa dari sudut pandang behavioris ialah yang dikemukakan oleh Skinner (1957) dalam Verbal Behaviour. Teori Skinnner tentang perilaku verbal merupakan peluasan teorinya tentang belajar yang disebutnya operant conditioning. Konsep ini mengacu pada kondisi di mana manusia atau binatang mengirimkan respons atau operant (ujaran atau sebuah kalimat), tanpa adanya stimulus yang tampak. Operant itu dipertahankan dengan penguatan. Misalnya, jika seorang anak kecil mengatakan minta susu dan orang tuanya memberinya susu, operant itu dikuatkan. Dengan perulangan yang terus-menerus operant semacam itu akan terkondisikan. Menurut Skinner, perilaku verbal, seperti perilaku yang lain, dikendalikan oleh akibatnya. Bila akibatnya itu hadiah, perilaku itu akan terus dipertahankan dan kekuatan serta frekuensinya akan terus dikembangkan. Bila akibatnya hukuman, atau bila kurang adanya penguatan, perilaku itu akan diperlemah atau pelan-pelan akan disingkirkan.
Noam Chomsky (1959) yang diikuti oleh Kenneth MacCorquodale (1970). Beberapa linguis dan ahli psikologi sependapat bahwa model Skinner tentang perilaku berbahasa dapat diterima secara memadai untuk kapasitas memperoleh bahasa, untuk perkembangan bahasa itu sendiri, untuk hakikat bahasa, dan untuk teori makna. Teori yang didasarkan pada penciptaan kondisi dan penguatan itu ternyata sulit untuk menjelaskan fakta bahwa ada kalimat baru yang kita ujarkan atau kita tulis yaitu kalimat yang tak pernah kita ujarkan atau kita tuliskan sebelumnya. Ujaran yang baru itu diciptakan oleh pembicara dan diproses oleh pendengarnya.
Tampaklah bahwa pendapat para ahli psikologi behaviorisme yang menekankan pada observasi empirik dan metode ilmiah hanya dapat mulai menjelaskan keajaiban pemerolehan dan belajar bahasa dan ranah kajian bahasa yang sangat luas masih tetap tak tersentuh.

B. TEORI NATIVISTIK
Nativisme berasal dari kata Nativus yang berarti kelahiran. Teori ini muncul dari filsafat nativisma (terlahir) sebagai suatu bentuk dari filsafat idealisme dan menghasilkan suatu pandangan bahwa perkembangan anak ditentukan oleh hereditas, pembawaan sejak lahir, dan faktor alam yang kodrati. Pelopor aliran Nativisme adalah Arthur Schopenhauer seorang filosof Jerman yang hidup tahun 1788-1880. Aliran ini berpendapat bahwa perkembangan individu ditentukan oleh bawaan sejak ia dilahirkan. Faktor linkungan sendiri dinilai kurang berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak. Pada hakekatnya aliran Nativisme bersumber dari Leibnitzian Tradition, sebuah tradisi yang menekankan pada kemampuan dalam diri seorang anak. Hasil perkambangan ditentukan oleh pembawaan sejak lahir dan genetik dari kedua orang tua.
Dalam hal pembelajaran bahasa, istilah nativisme dihasilkan dari pernyataan mendasar bahwa pembelajaran bahasa ditentukan oleh bakat. Bahwa kita dilahirkan itu sudah memiliki bakat untuk memperoleh dan belajar bahasa. Teori tentang bakat bahasa itu memperoleh dukungan dari berbagai sisi.
Menurut Chomsky, bakat bahasa itu terdapat dalam kotak hitam (black box) yang disebutnya sebagai language acquisition device (LAD) atau piranti pemerolehan bahasa. McNeill mendeskripsikan LAD itu terdiri atas empat bakat bahasa, yakni:
kemampuan membedakan bunyi ujaran dengan bunyi yang lain dalam lingkungannya;
kemampuan mengorganisasikan peristiwa bahasa ke dalam variasi yang beragam;
pengetahuan adanya sistem bahasa tertentu yang mungkin dan sistem yang lain yang tidak mungkin;
kemampuan untuk tetap mengevaluasi sistem perkembangan bahasa yang membentuk sistem yang mungkin dengan cara yang paling sederhana dari data kebahasaan yang diperoleh.

C. TEORI KOGNITIVISTIK
Kognitivisme mengakui pentingnya faktor individu dalam belajar tanpa meremehkan faktor eksternal atau lingkungan. Bagi kognitivisme, belajar merupakan interaksi antara individu dan lingkungan, dan hal itu terjadi terus-menerus sepanjang hayatnya.
Beberapa nama penting yang diasosiasikan dengan teori belajar kognitivisme:
1. Bruner: Teori Belajar Penemuan (Discovery Learning)
Suatu pendekatan dalam belajar dimana siswa berinteraksi dengan lingkungannya dengan jalan mengeksplor dan memanipulasi obyek, bergulat dengan sejumlah pertanyaan dan kontroversi atau melakukan percobaan.
2. Ausubel : Teori Belajar Bermakna
Ausubel berpendapat bahwa guru harus dapat mengembangkan potensi kognitif siswa melalui proses belajar yang bermakna. Inti dari teori belajar bermakna Ausubel adalah proses belajar akan mendatangkan hasil atau bermakna kalau guru dalam menyajikan materi pelajaran yang baru dapat menghubungkannya dengan konsep yang relevan yang sudah ada dalam struktur kognisi siswa.
3. Robert Gagne: Model Pemrosesan Informasi
Gagne berpendapat bahwa proses belajar adalah suatu proses dimana siswa terlibat dalam aktivitas yang memungkinkan mereka memiliki kemampuan yang tidak dimiliki sebelumnya.
4. Jean Piaget (1896 – 1980): Cognitive Development Model
Teori ini membahas munculnya dan diperolehnya skema-skema tentang bagaimana seseorang mempersepsi lingkungannya dalam tahapan perkembangan, saat seseorang memperoleh cara baru dalam merepresentasikan informasi secara mental.
5. Teori Belajar Kognitivif Gagne
Gagne melihat proses belajar mengajar dibagi menjadi beberapa komponen penting yaitu: (1) Fase – fase pembelajaran (2) Kategori utama kapabilitas/kemampuan manusia/outcomes (3) Kondisi atau tipe pembelajaran (4) Kejadian-kejadian instruksional.
6. Teori Belajar Kognitivif Vytgosky
Vygotsky membedakan secara fundamental antara kegiatan berbasis stimulus-respons, alat dan bahasa. Ia juga berpendapat bahwa ada perbedaan antara konsep dan bahasa ketika seseorang masih belia, tetapi sejalan dengan perjalanan waktu, keduanya akan menyatu. Bahasa mengekspresikan konsep, dan konsep digunakan dalam bahasa.

Kamis, 05 Mei 2011

Implikatur

Implikatur berasal dari bahasa latin implicare yang berarti "melipat". hal ini dijelaskan oleh Mey melalui Nadar (2009:60) bahwa untuk mengetahui apa yang dilipat harus dengan cara membukanya. dengna kata lain, implikatur dapat dikatakan sebagai sesuatu yang terlipat.
Implikatur secara sederhana dapat diartikan sebagai makna tambahan yang disampaikan oleh penutur yang terkadang tidak terdapat dalam tuturan itu sendiri. Sebuah tuturan dapat mengimplikasikan proposisi yang bukan merupakan bagian dari tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan tersebut oleh Grice disebut sebagai implikatur percakapan.
Secara garis besar terdapat dua jenis implikatur. Yang pertama adalah implikatur konvensional. Implikatur ini lebih menjelaskan pada apa yang yang diutarakan. Sedangkan yang kedua telah disebut pada paragraf sebelumnya yaitu implikatur percakapan. Implikatur percakapan lebih menekankan maksud lain dari apa yang dituturkan.
Sebagai contoh perhatikan tuturan A terhadap B berikut :
A : Besok saya akan mengadakan syukuran kelulusan anak saya
B : Saya ada acara besok.
Secara konvensional percakapan di atas mempunyai maksud bahwa A memberikan informasi bahwa ia akan mengadakan acara syukuran anaknya yang lulus dan B juga menginformasikan bahwa pada saat A mengadakan acara, B memiliki acara lain secara bersamaan. Namun, ternyata ada makna yang lebih jauh dari percakapan di atas dan ini dapat dijelaskan melalui implikatur percakapan. Tuturan A kepada B sebenarnya tidak semata-mata sebagai informasi akan acara yang hendak ia lakukan, tetapi dibalik itu terdapat maksud lain, yaitu A bermaksud mengundang B untukdatang pada acara yang ia lakukan. Sedangkan jawaban B juga memiliki maksud yaitu menyatakan ketidaksanggupan B untuk menghadiri acara A. Hal ini dapat dikatakan sebagai ungkapan penolakan B terhadap undangan A dengan cara yang lebih halus dan tidak menyinggung perasaan A karena adanya alasan mengapa B tidak dapat memenuhi undangan A tersebut.
Dalam implikatur, baik dalam bentuk implikatur konvensional maupun implikatur percakapan, pembicara sering menyampaikan maksudnya lebih dari apa yang dirumuskan oleh Brown & Yule dan Samsuri dalam Sugira Wahid dan Juanda (2006:94) bahwa implikatur implikatur dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan atau yang dimaksud oleh pembicara berbeda dari apa yang dinyatakan secara harfiah.
Menurut Searle (Dalam Sugira Wahid dan Juanda, 2006: 93) dalam tindak ilokusi tidak langsung, pembicara (penulis) menyampaikan maksudnya kepada pendengar (pembaca) lebih dari apa yang ujarkannya dengan menghubungkan informasi latar belakang bersama kedua pihak (pemberi dan penerima informasi), baik yang bersifat kebahasaan maupun yang bersifat nonkebahasaan. Konsep tindak ilokusi tidak langsung tersebut berkaitan dengan konsep implikatur.
Keterhubungan pengertian tindak tutur tak langsung dengan pengertian implikatur tampak dalam contoh Leech, yaitu :
Very hot in here, isn’t it?
(Panas sekali disini, bukan?)
Ujaran tersebut merupakan contoh baik ilokusi tidak langsung maupun implikatur. Dalam contoh tersebut, pembicara secara implisit menghendaki agar mesin pendingin dihidupkan. Tetapi dalam siatuasi lain, tuturan tersebut dapat merupakan pembuka pembicaraan agar suasana tidak terasa kaku. Karena itu Brown dan Yule dan Samsuri (dalam Sugirah Wahid dan Juanda, 2006: 94) mengatakan bahwa hal semacam itu merupakan kelemahan teoari tindak tutur karena dalam sebuah ujaran dapat terjadi sekaligus beberapa tindak bahasa, sedangkan teori tindak tutur tidak memberi saran cara menentukan bagaimana kita menentukan unsur kebahasaan tertentu untuk menerima tafsiran makna yang tertentu pula. Karena itulah maka untuk menghindari hal semacam itu, Grice (1975) memberikan sebuah prinsip yang disebut prinsip kooperatif dan empat buah maksim yang menunjang prinsip tersebut. Keempat maksim tersebut antara lain:
(1) Maksim kuantitas (maxim of quantity)
(2) Maksim kualitas (maxim of quality)
(3) Maksim relevansi (maxim of relefance)
(4) Maksim pelaksanaan (maxim of manner)

Berikut ini Prinsip Kerja Sama Grice (1975) tersebut selengkapnya.
1. Maksim Kuantitas (The Maxim of Quantity)
- Jadikan kontribusia Anda seinformatif mungkin sebagaimana yang diperlukan.
- Jangan membuat kontribusi lebih informatif dari yang diperlukan.

Seorang penutur diharapakan dapat memberiakan informasi yang cukup, relatif memadai, dan seinformatif mungkin. Informasi demikian itu tidak boleh melebihi informasi yang sebenarnya dibutuhkan simitra tutur. Tuturan yang diperlukan si mitra tutur, dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas dalam prinsip kerjasama Grice. Demikian sebaliknya, apabila tuturan itu mengandung informasi yang berlebihan akan dapat dikatakan melanggar maksim kuantitas.
Berikut ini contohnya :
(1.a) “ Lihat itu Muhammad Ali mau bertanding lagi !”
(1.b) “ Lihat itu Muhammad Ali yang mantan petinju kelas berat itu mau bertanding lagi !”
Informasi indeksal
Tuturan (1.a) dan (1.b) dituturkan oleh seorang pengagum Muhammad Ali kepada rekannya yang juga mengagumi petinju legendaris itu. Tuturan itu dimunculkan pada waktu mereka bersama-sama melihat salah satu acara tinju di televisi.
Tuturan tuturan (1.a) dalam contoh di atas merupakan tuturan yang sudah jelas dan sangat informatif isinya. Dapat dikatakan demikian, karena tanpa harus ditambah dengan informasi lain, tuturan itu sudah dapat dipahami maksudnya dengan baik dan jelas oleh si mitra tutur. Penambahan informasi seperti ditunjukkan pada tuturan (1.b) justru akan menyebabkan tuturan menjadi berlebihan dan terlalu panjang. Sesuai dengan yang digariskan maksim ini, tuturan seperti pada tuturan (1.b) di atas tidak mendukung atau bahkan melanggar prinsip Kerja Sama Grice.

Dalam sebuah interaaksi, para peserta juga menaati maksim kuantitas submaksim kedua, yakni tidak memberikan informasi yang lebih dari yang dibutuhkan. Dalam realisasinya, hal tersebut terjadi apabila penutur merespon inisiasi yang berupa pertanyaan “bagaimana” dan “mengapa”. Perhatikan wacana berikut:
[2] A : Mengapa Anda belajar Bahasa Inggris? (1.c)
B : Karena jika menguasai Bahasa Inggris, saya akan mampu berkomunikasi dengan orang asing, memahami buku-buku berbahasa Inggris, dan lebih mudah mendapat pekerjaan. (1.d)

Pada wacana di atas, inisiasi A dengan tuturan (1.c) direspon dengan informasi yang memadai dalam tuturan (1.d). Karena inisiasi berupa pertanyaan “mengapa”, maka respon yang diberikan lebih panjang dibanding respon terhadap inisiasi “apa” atau “siapa”.Dengan demikian dapat dikatan bahwa pada wacana di atas para peserta tutur telah menaati maksim kuantitas, submaksim kedua.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa penaatan maksim kuantitas dalam sebuah interaksi berfungsi untuk (1) menyampaikan informasi yang jelas, (2) meminta bantuan, dan (3) menghindari kesalahpahaman.Singkatnya, penaatan maksim kuantitas dilakukan peserta tutur agar interaksi yang diikuti berlangsung dengan lancar dan sampai pada tujuannya.

2. Maksim kualitas (The Maxim of Quality)
- Jangan katakan apa yang dianggap sebagai pernyataan yang salah.
- Jangan katakan jika buntinya kurang memadai.

Dengan maksim kualitas, seorang peserta tutur diharapkan dapat menyampaikan sesuatu yang nyata dan sesuai fakta yang sebenarnya di dalam bertutur. Fakta itu harus didukung dan didasarkan pada bukti-bukti yang jelas. Tuturan (2.a) dan tuturan (2.b) pada bagian berikut dapat dipertimbangkan untuk memperjelas pernyataan ini.
(2.a) “ Silahkan menyontek saja biar nanti asaya mudah menyonteknya!”
(2.b) “ Jangan menyontek, nilainya bisa E nanti !
Informasi Indeksal:
Tuturan (2.a) dan (2.b) dituturkan oleh dosen kepada mahasiswanya di dalam ruang ujian pada saat ia melihat ada seorang mahasiswa yang sedang melakukan usaha penyontekan
Tuturan (2.a) jelas lebih memungkikan terjadinya kerja sama anatara penutur dengan mitra tutur. Tuturan (2.b) dikatakan melanggar maksim kualitas karena penutur mengatakan sesuatu yang sebenarnya tidak sesuai dengan yang dilakukan oleh seseorang. Akan merupakan sesuatu kejanggalan apabila di dalam dunia pendidikan terdpat seorang dose yang mempersilakan para mahasiswanya melakukan penyontekan pada saat ujian berlangsung
Dalam komunikasi sebenarnya, penutur dan mitra tutur sangat lazim menggunakan tuturan dengan maksud yang tidak senyatanya dan tidak disertai dengan bukti-bukti yang jelas. Bertutur yang terlalu langsung dan tanpa basa basi dengan disertai bukti-bukti yang jelas dan apa adanya justru akan membuat tuturan menjadi kasar dan tidak sopan. Dengan perkataan lain, untuk bertutur yang santun maksim kualitas ini seringkali tidak dipatuhi dan tidak dipenuhi.
Maksim kualitas menyarankan agar peserta tutur dalam suatu interaksi (1) tidak memberikan informasi yang diyakini salah (bohong), dan (2) tidak memberikan informasi yang tidak didukung cukup bukti. Hal tersebut terwujud jka para peserta tutur memberikan sumbangan informasi yang diyakini benar, dan apa yang diinformasikan didukung oleh bukti yang memadai. Kebenaran yang dimaksud dapat berupa kebenaran factual, kebenaran proporsional, dan kebenaran spiritual.
Untuk menentukan kebenaran suatu informasi tidaklah mudah.Dalam realisasinya, hakikat kebenaran dan ketidakbenaran suatu informasi, kebongan dan kejujuran seseorang, yang paling tahu adalah orang yang bersangkutan. Karena tidak mungkin kita melihat apa yang ada di balik benak para peserta tutur, Stubbs (1983) menyarankan agar kita bertumpu pada kebenaran faktual, yakni kebenaran yang didasarkan pada fakta. Kebenaran proporsional merupakan kebenaran yang didasarkan pada prinsip logika yang benar. Sedangkan kebenaran spiritual merupakan kebenaran yang didasarkan pada keyakinan spiritual yang biasanya disadari secara umum

3. Maksim Relevansi (The Maxim of Relevance)
- Buatlah agar pernyataan itu relevan.

Di dalam maksim relevansi, dinyatakan bahwa agar terjalin kerja sama yang baik antara penutur dan mitra tutur, masing-masing hendaknya dapat memberikan kontribusi yang relevan tentang sesuatu yang sedang dipertuturkan itu. Bertutur dengan tidak memberikan kontribusi yang demikian dianggap tidak mematuhi dan melanggar prinsip kerja sama.

Maksim hubungan menyarakan agar para peserta tutur memberikan informasi yang relevan dengan topik pembicaraan. Dalam realisasinya, para peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati maksim hubungan dengan cara menyampaikan tuturan yang berisi informasi yang relevan dengan alur interaksi yang sedang diikuti. Wacana interaksi di pengadilan berikut patut diperhatikan:
[1] H : Nama? (a)
S : Suparmin. (b)
H : Alamat? (c)
S : Sawojajar, Malang. (d)
H : Pekerjaan? (e)
S : Swasta. (f)

Pada wacana [1] di atas, saksi (S) memberikan informasi yang relevan dengan inisiasi yang diberikan oleh hakim (H).tuturan S (a), (c), dan (e) selalu relevan dengan inisiasi H (b), (d), dan (f). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa S telah menaati maksim hubungan.
Relevansi suatu tuturan dilihat dalam kerangka hubungan yang lebih luas, yakni memiliki relevansi dengan konteks yang sedang terjadi meskipun secara literal tidak menunjukkan hubungan. Wacana interaksi antara penjual sate dan pembeli berikut patut diperhatikan:
[2] Pj : Kambing apa ayam, pak? (a)
Pb : Kambing sepuluh, pak. (b)
Pj : Kecap apa kacang? (c)
Pb : Kacang. Jangan pedes! (d)

Dalam wacana [2] di atas, secara literal informasi yang diberikan Pb kepada Pj tidak berhubungan. Namun dalam konteks memberli sate, informasi yang diberikan Pb melalui tuturan (b) dan (d) memiliki relevansi dengan inisiasi Pj mealui tuturan (a) dan (c). Karena para peserta tutur memiliki praanggapan yang sama, maka inisiasi yang diajukan Pj dan respon yang diberikan Pb memiliki relevansi. Karena itu, dapat dikatakan bahwa Pb telah menaati maksim hubungan.

Secara umum, penaatan maksim hubungan dalam sebuah interaksi berfungsi untuk membuat setiap tuturan yang disampaikan memberi informasi yang relevan dengan tuturan yang direspon dan situasi ujarnya.Secara khusus, penaatan maksim hubungan memiliki fungsi untuk (1) mengusut kebenaran informasi, (2) mencari informasi, dan (3) memberikan informasi yang benar.

4. Maksim Cara (The Maxim of Manner)
- Hindari pernyataan yang kurang kabur
- Hindari ketaksaan
- Buatlah ujaran sesingkat mungkin
- Buatlah ujaran secara berurutan.

Dalam realisasinya, peserta tutur dalam sebuah interaksi menaati maksim cara dengan cara menghindari tuturan yang kabur, menghindari tuturan yang berarti ganda, tidak berbelit-belit, dan menyampaikan tuturan secara teratur. Biasanya, tuturan yang menaati maksim kuantitas sekaligus juga menaati maksim cara. Perhatikan wacana berikut:
[3] A : Berapa (hasil akhir) Chelsea lawan Liverpool? (a)
B : Tiga, satu. (b)
A : Di final, kamu pegang mana? (c)
B : MU (Manchester United). (d)

Pada wacana [3] di atas, B memberikan informasi yang dibutuhkan oleh A. Wacana di atas memiliki konteks semifinal liga Champion antara Chealsea melawan Liverpool. Tuturan (b) memberikan informasi skor akhir pertandingan semi final antara Chelsea melawan Liverpool, sedangkan tuturan (d) memberikan informasi tentang tim favorit juara, karena sebelumnya MU telah menang melawan Barcelona 1-0. Karena itu dapat dikatakan bahwa B telah menaati maksim cara.
Secara umum, penaatan maksim cara dalam sebuah interaksi memiliki fungsi untuk menyampaikan informasi secara jelas, tidak ambigu, singkat dan teratur dalam rangka menunjang tercapainya tujuan interaksi yang sedang diikuti. Secara khusus, penaatan maksimcara berfungsi untuk (1) menyampaikan informasi yang singkat dan jelas, dan (2) menghindari kesalahpahaman.



Sources :
Rahardi, Kunjana. 2006. Pragmatik. Jakarta: Erlangga.
Wahid, Sugira dan Juanda. 2006. Analisis Wacana. Makassar: Badan Penerbit UNM.